Idul Adha 2025 / 1446 H jatuh pada hari Jumat, 6 Juni 2025. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam, khususnya pria Muslim: apakah tetap wajib melaksanakan salat Jumat meskipun sudah menunaikan salat Idul Adha di pagi harinya?
Pertanyaan ini bukan hal baru dan telah menjadi perbincangan di kalangan ulama lintas mazhab. Jawabannya pun beragam, tergantung pada pandangan fiqih yang dianut.
Dalam tradisi Islam, salat Jumat merupakan kewajiban mingguan bagi pria Muslim yang baligh dan tidak ada uzur syar’i. Ketika Hari Raya Idul Adha atau Idul Fitri bertepatan dengan hari Jumat, maka muncul potensi “tumpang tindih” antara dua ibadah berjamaah: salat Id di pagi hari dan salat Jumat di siang hari.
Menurut jumhur ulama (mayoritas ulama), salat Jumat tetap wajib dilaksanakan meskipun seseorang sudah menunaikan salat Id. Pendapat ini dianut oleh mazhab Hanafi, Maliki, dan sebagian besar ulama Syafi’iyah.
Buya Yahya, ulama karismatik asal Cirebon, menjelaskan bahwa dalam mazhab Hanafi dan Maliki, tidak ada pengecualian hukum bagi salat Jumat yang bertepatan dengan hari raya. Artinya, kewajiban salat Jumat tetap berlaku meskipun umat Islam sudah mengikuti salat Id di pagi hari.
“Dalam mazhab Hanafi dan Maliki, tetap wajib [salat Jumat], nggak ada perbedaan apakah Jumatan tepat di hari Id atau tidak. Kalau wajib Jumatan ya Jumatan, biarpun udah salat Id,” kata Buya Yahya dalam ceramahnya di kanal YouTube Al Bahjah TV.
Pendapat ini juga selaras dengan pandangan ulama Syafi’i, dengan beberapa catatan pengecualian yang akan dijelaskan lebih lanjut.
Mazhab Hambali: Boleh Tidak Jumatan, Tapi Tetap Wajib Salat Dzuhur
Berbeda dengan pendapat mayoritas, mazhab Hambali memberikan keringanan bagi umat Muslim. Menurut pandangan ini, seseorang yang sudah melaksanakan salat Id diperbolehkan untuk tidak menghadiri salat Jumat, asalkan tetap menunaikan salat Dzuhur sebagai gantinya.
“Dari mazhab Hambali, yang wajib Jumatan kemudian sudah melakukan salat Id, maka dia boleh meninggalkan Jumatan tapi tetap salat Dzuhur,” ujar Buya Yahya.
Pendapat ini merujuk pada hadits dari Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat, yang menunjukkan bahwa beliau memberikan keringanan tidak salat Jumat bagi yang sudah salat Id. Meski begitu, pendapat ini bukan berarti menggugurkan kewajiban salat Dzuhur.
Pendapat Mazhab Syafi’i dan Pengecualiannya
Dalam mazhab Syafi’i, hukum salat Jumat tetap wajib meskipun seseorang telah menunaikan salat Id. Namun, ada beberapa pengecualian bagi individu yang tidak memungkinkan untuk menghadiri salat Jumat.
Buya Yahya menjelaskan bahwa mereka yang tinggal di daerah tanpa masjid yang menyelenggarakan salat Jumat tidak terkena kewajiban tersebut. Namun, mereka tetap wajib melaksanakan salat Dzuhur sebagai gantinya.
“Di kampung tetangga ada Jumatan, Anda boleh memaksakan pergi ke sana, tapi Anda tidak wajib kalau tidak dengar azannya,” jelas Buya Yahya.
Artinya, jika azan tidak terdengar secara langsung (tanpa pengeras suara), maka kewajiban salat Jumat bisa gugur. Namun, ini tidak serta-merta membebaskan dari kewajiban salat Dzuhur.
Para ulama memiliki pandangan yang berbeda terkait kewajiban salat Jumat apabila hari raya Idul Adha bertepatan dengan hari Jumat. Perbedaan ini berasal dari pemahaman masing-masing mazhab terhadap dalil-dalil syariat.
Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa salat Jumat tetap wajib dilaksanakan, meskipun umat Islam telah menunaikan salat Id di pagi harinya. Bagi dua mazhab ini, tidak ada pengecualian dalam hal kewajiban tersebut, sehingga setiap laki-laki Muslim yang memenuhi syarat tetap harus menghadiri salat Jumat.
Sementara itu, mazhab Syafi’i juga menyatakan bahwa kewajiban salat Jumat tetap berlaku meskipun seseorang telah mengikuti salat Id. Namun, mazhab ini memberikan pengecualian bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil atau tidak ada masjid yang menyelenggarakan salat Jumat di sekitarnya. Jika azan salat Jumat tidak terdengar secara alami (tanpa pengeras suara), maka orang tersebut tidak dikenai kewajiban salat Jumat, tetapi tetap diwajibkan untuk menunaikan salat Dzuhur.
Berbeda dengan ketiga mazhab tersebut, mazhab Hambali memandang bahwa seseorang yang telah melaksanakan salat Idul Adha diperbolehkan untuk tidak mengikuti salat Jumat. Namun, sebagai gantinya, mereka tetap wajib melaksanakan salat Dzuhur. Pendapat ini berlandaskan pada riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memberikan keringanan kepada umatnya dalam kondisi serupa.
Dengan perbedaan pandangan ini, umat Islam disarankan untuk mengikuti mazhab yang sesuai dengan keyakinan dan kondisi mereka. Namun, untuk kehati-hatian (ihtiyath), mengikuti pandangan yang mewajibkan salat Jumat tetap menjadi pilihan yang aman dan dianjurkan.
Sebagian besar ulama mewajibkan salat Jumat meski sudah salat Id, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut mazhab Syafi’i. Namun, tetap perlu mempertimbangkan kondisi dan lokasi tempat tinggal. Jika tidak ada penyelenggaraan salat Jumat di sekitar tempat tinggal dan azan tidak terdengar, maka kewajiban bisa gugur, diganti dengan salat Dzuhur.
Sebagai umat Islam, kita dianjurkan mengikuti pendapat yang paling kuat dan hati-hati (ihtiyath), yaitu tetap melaksanakan salat Jumat setelah salat Idul Adha, kecuali memiliki alasan yang dibenarkan syariat.
Wallahu a’lam.