Pada zaman dulu, orang Sunda mengenal ular bukan hanya sebagai binatang berbahaya tetapi juga sebagai dewa. Kocap tercerita dalam kepercayaan lama dikenal nama Dewa Antaboga.
Sejumlah sumber menyebutkan bahwa Antaboga punya nama lain, yakni Anantaboga atau Naga Sesa. Dalam mitologi Sunda, Antaboga adalah ular yang menangis dan tangisnya menjadi tiga butir telur. Satu di antara telur itu menetas melahirkan Nyi Pohaci Sanghyang Sri, dewi padi.
Di Sunda, nama Antaboga disebutkan dalam naskah kuno Wawacan Sulanjana. Selain di dalam naskah kuno, Antaboga sering muncul penggambarannya berupa ukiran.
Di antara yang memuat cerita tentang dewa ular Antaboga adalah naskah kuno Wawacan Sulanjana. Dalam wawacan itu dijelaskan bagaimana peran ular itu tersebut dalam percaturan kahiangan.
Syahdan, diceritakan bahwa Batara Guru dengan patih Narada bermaksud mendirikan Bale Pancawarna. Semua dewa wajib membantu, jika tidak tangan dan kaki mereka akan dipotong.
Dewa Antaboga yang badannya ular tidak punya tangan dan kaki. Dia tidak bisa melaksanakan tugas. Sebaliknya, dia khawatir karena tidak ada kaki dan tangan yang bisa dipotong dan satu-satunya yang bisa dipotong adalah lehernya.
Antaboga berbicara kepada dewa lain agar mendapatkan saran solusi. Namun, tidak ada solusi yang didapat. Maka Antaboga sedih. Ia menitikkan air mata, yang setiap bulirnya lalu menjadi tiga butir telur berkulit seperti kristal mengilat.
Telur-telur itu dikulumnya dan akan disampaikan kepada Batara Guru. Barangkali Batara Guru penguasa kahyangan akan memaklumi kondisinya dan bersenang hati dengan tiga mutiara telur itu.
Namun di perjalanan ia disapa oleh burung elang. Dewa Antaboga tidak bisa menyahut sapaan elang itu karena mengulum telur, dan karena dianggap sombong, lalu ia disambar oleh elang.
Sambaran itu membuat satu telur jatuh di Tegal Kapapan, satu lagi jatuh di Tanah Sabrang. Keduanya pecah menjelma Kala Buwat dan Budug Basu. Di Tegal Kapapan.
Satu telur yang selamat diserahkan kepada Batara Guru. Dewa Antaboga lalu ditugaskan untuk mengerami telur itu hingga menetas. Dari telur itu lahir seorang bayi putri yang sangat cantik.
Putri itu diserahkan kepada Batara Guru dan diberi nama Pohaci. Pohaci disusui oleh Dewi Umah, istri Batara Guru, dan diasuh oleh Dewi Esri. Cerita selanjutnya adalah kematian Pohaci atau Dewi Sri yang dari jasadnya keluar tumbuh-tumbuhan yang berguna bagi manusia, di antaranya padi.
Selain muncul dalam naskah kuno Sunda, ular juga tampil sebagai ukiran yang dipampang di rumah-rumah sebagian orang Sunda. Misalnya, apa yang dilakukan masyarakat di Rancakalong, Sumedang.
Jawad Mughofar KH pada 2015 pernah melakukan penelitian di Rancakalong. Dalam penelitian itu, dia melihat ukiran ular dipasang di sudut rumah warga.
Penelitian itu dikutip Jurnal Paraguna Volume: 8, Nomor: 1, Desember 2021. Diceritakan bahwa Jawad Mughofar KH mempertanyakan keberadaan gambar naga/ular yang tergambar rapi di sudut rumah adat yang menjadi lokasi penelitian, khususnya pada kegiatan peringatan Seren Taun Bubur Sura.
Narasumber kepada Mughofar menjawab keberadaan gambar tersebut hanyalah suatu legenda tentang awal mula adanya padi.
Ular atau naga menjadi hewan mitologis yang hadir di berbagai budaya, baik di Timur maupun di Barat. Naga hadir misalnya di Cina dan Indonesia, juga di Amerika dan sejumlah negara Eropa.
Namun, yang membedakan keduanya adalah persepsi atas naga. Di Barat, ular naga pada umumnya dianggap menggambarkan sosok jahat, mengganggu manusia, dan menyebabkan celaka. Sebaliknya, di Timur ular naga dianggap simbol kebaikan.
Studi yang dimuat dalam Jurnal Pendidikan Seni Rupa, Volume 05 Nomor 01 Tahun 2017 menyebutkan bahwa di dalam kebudayaan barat, naga adalah sosok yang diposisikan sebagai musuh dan harus dikalahkan. Bahwa seseorang yang dapat mengalahkan naga disebut sebagai pahlawan. Sebaliknya, di dalam kebudayaan timur, misalnya Cina, naga diposisikan sebagai entitas pengubung bumi dan dunia atas.