Anomali Lembang, Dataran Tinggi Bandung yang Rutin Kebanjiran

Posted on

Pesona Lembang sebagai primadona tempat berlibur bagi wisatawan tak berbanding lurus dengan kondisi alamnya yang mulai rusak berujung terjadinya berbagai bencana alam.

Di musim penghujan sampai kini memasuki masa peralihan, rentetan bencana hidrometeorologi merusak Lembang. Ujung-ujungnya pribumi Lembang yang jadi korban.

Berdasarkan data dari BPBD Kabupaten Bandung Barat, hanya dalam sepekan sejak 14 Mei sampai 21 Mei 2025, setidaknya ada 13 desa di wilayah Kecamatan Lembang yang diterjang banjir hingga tanah longsor. Seorang lansia tewas dan ratusan jiwa lainnya terpaksa mengungsi.

Lembang sejatinya merupakan daerah dataran tinggi. Atap Lembang ialah puncak Gunung Tangkuban Parahu, yang menjulang di perbatasan Bandung Barat dan Kabupaten Subang. Sementara titik terendahnya ada di perbatasan antara Kota Bandung dengan Bandung Barat.

Berdasarkan yang dihimpun dari keterangan Ketua Odesa Indonesia mengacu pada data Provinsi Jawa Barat dalam berita yang telah diterbitkan pada 1 Februari 2025 di infoJabar, luas lahan kritis di KBU mencapai 19 ribu hektare dari 70 ribu hektare lahan KBU.

Di mata pribumi Lembang, Asep Wawan, merupakan sebuah anomali atau keanehan tatkala melihat daerah tempatnya lahir dan dibesarkan itu kini menjadi langganan bencana. Ia menjadi saksi bagaimana lambat laun Lembang berubah, namun bukan ke arah lebih baik.

“Sebetulnya kondisi Lembang ini kan malah memburuk. Memang dari dulu banjir juga ada, bukan sekarang saja. Cuma kalau kata orang tua di sini, sekarang itu semakin parah,” kata Asep saat berbincang dengan infoJabar, Sabtu (31/5/2025).

Misalnya, banjir yang menggenangi kawasan Pasar Panorama Lembang. Diakuinya, fenomena itu sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Namun kondisi banjir saat ini sama sekali tak seperti yang dibayangkannya.

“Rata-rata banjir kan memang di pusat kota Lembang, jadi tidak ada di daerah atas. Seperti di Pasar Panorama, memang dulu juga banjir tapi cileuncang (genangan). Kalau sekarang kan sampai merendam motor, kendaraan enggak bisa lewat,” kata Asep.

Sejumlah warga Lembang, terutama yang sudah sepuh, akhirnya bergerak. Mereka berinisiatif menyusuri penyebab banjir Lembang yang menurut para pribumi karena kondisi drainase yang tak optimal.

“Kemudian itu ada beberapa saluran air yang sekarang ditutup. Seperti saluran di daerah PPI, itu ditutup. Kemarin saya dengan warga susur saluran, ternyata penyebabnya memang sama dengan dulu, itu drainase. Cuma sekarang makin parah karena ada yang ditutup,” kata Asep.

Sementara itu, Kepala Desa Gudang Kahuripan sekaligus Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) KBB, Agus Karyana juga bereaksi pada rentetan bencana alam yang menerjang Lembang.

“Alih fungsi lahan di sini (Lembang) tidak terkendali, terutama di daerah hulu seperti Cikole. Itu kan zona resapan air dan kawasan hutan lindung,” kata Agus.

Di sisi lain, ia menggarisbawahi soal lemahnya penerapan aturan soal Kawasan Bandung Utara yang dituangkan di dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengendalian Kawasan Bandung Utara Sebagai Kawasan Strategis Provinsi.

“Pemerintah provinsi dan daerah perlu bertindak tegas mengerem alih fungsi ini. Kalau aturan (Pergub nomor 2 Tahun 2016) dijalankan, kemungkinan kerusakan lingkungan tidak terlalu parah seperti saat ini,” kata Agus.

Ia meminta Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi mau menengok langsung kondisi daerah hulu Lembang. Vegetasi yang dulu rimbun sekaligus berperan sebagai produsen oksigen, kini mulai dihiasi bangunan-bangunan.

“Mohon Pak Gubernur KDM mau datang ke Lembang, harus segera ditangani kalau tidak akan semakin parah. Terlalu banyak pembangunan yang tidak terkendali,” kata Agus.

Anomali Sejak Puluhan Tahun Lalu

Alih Fungsi Lahan Tak Terkendali

Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *