Istilah brain rot atau pembusukan otak mungkin sudah akrab di telinga, terutama sebagai sindiran terhadap kebiasaan menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial atau menonton konten digital yang dangkal.
Namun, para ahli menilai kondisi ini bukan sekadar guyonan internet, melainkan fenomena serius yang perlu mendapat perhatian, terutama pada anak dan remaja.
Melansir infoHealth, Ketua Feil Family Brain and Mind Research Institute sekaligus ahli saraf dari Weill Cornell Medicine, Dr. Costantino Iadecola, menyebut brain rot berdampak besar pada anak-anak dan remaja karena otak mereka masih berada dalam masa perkembangan. Menurutnya, paparan konten yang bersifat tidak menantang secara intelektual bisa mengganggu perkembangan fungsi kognitif.
Secara umum, brain rot merujuk pada menurunnya kondisi mental atau intelektual akibat konsumsi konten yang dangkal atau sepele secara berlebihan. Terlalu sering menatap layar gawai untuk menikmati konten ringan disebut bisa memicu gejala seperti kabut otak (brain fog), menurunnya rentang perhatian, hingga kesulitan dalam mengatur diri.
Profesor sosiologi dari Kenyon College, Marci Cottingham, Ph.D., bahkan mengaku mengalami fenomena ini secara langsung setelah terlalu lama menonton video di platform TikTok.
“Saya mengalami perasaan ini setelah berjam-jam menonton TikTok,” ujarnya.
Meski belum banyak studi mendalam, fenomena brain rot mulai menarik perhatian ilmiah. Salah satu penelitian yang dimuat di jurnal Brain Sciences pada awal 2025 mengidentifikasi tiga faktor utama yang bisa memicu kondisi ini, yakni durasi screen time yang berlebihan, kecanduan media sosial, dan kelebihan beban kognitif.
“Akibatnya, orang mungkin mengalami perubahan fungsi kognitif,” tulis para peneliti dalam laporan tersebut.
“Secara khusus, mereka mungkin mengalami memori yang terdistorsi atau gangguan memori jangka pendek, ketidakmampuan untuk fokus, rentang perhatian yang berkurang, impulsif, dan preferensi untuk kepuasan instan,” sambung mereka.
Dalam beberapa kasus, gejala brain rot bisa menyerupai kelelahan, depresi, atau gangguan fungsi eksekutif. Gejala ini bisa bersifat situasional-berubah dari waktu ke waktu-atau dalam kasus tertentu menjadi bagian dari masalah klinis seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
Contohnya, remaja dengan kecenderungan depresi atau kecemasan berisiko lebih tinggi terjebak dalam penggunaan media sosial yang tak sehat. Mereka yang sejak awal mengalami kesulitan fokus bisa semakin terjerumus karena konten digital menawarkan stimulasi instan yang memperparah masalah tersebut.
Meski demikian, para ahli menegaskan bahwa tanpa penelitian lanjutan yang lebih spesifik tentang brain rot, belum bisa dipastikan secara pasti dampak jangka panjangnya terhadap kesehatan otak.
Cottingham melihat kemunculan istilah seperti brain rot sebagai respons sosial atas kondisi masyarakat saat ini.
“Dan kebusukan otak menunjuk pada momen (politik dan budaya) yang sedang kita alami, dalam hal orang-orang tidak merasa memiliki jalur yang jelas untuk tindakan individu atau kolektif,” jelasnya.
Secara keseluruhan, para ahli sepakat bahwa brain rot merupakan fenomena psikologis yang lebih kompleks daripada yang terlihat di permukaan. Meski terdengar negatif, fenomena ini juga mencerminkan keresahan sosial dan budaya atas gaya hidup digital saat ini-di mana waktu layar dan akses ke hiburan instan begitu mudah diperoleh, namun dampaknya terhadap kesehatan mental belum sepenuhnya dipahami.
Dengan meningkatnya kesadaran publik terhadap isu ini, penting bagi masyarakat, terutama orang tua dan pendidik, untuk lebih memperhatikan kualitas dan kuantitas konsumsi digital anak-anak dan remaja di tengah era teknologi yang serba cepat.
Artikel ini sudah tayang di infoHealth