Kasus pemerkosaan yang menyeret dokter residen anestesi PPDS Unpad, Priguna Anugerah P alias PAP (31) masih menjadi perbincangan. Dia tega memperkosa seorang perempuan berusia 21 tahun saat sedang menunggu ayahnya yang dirawat di RSHS Bandung.
Priguna kini sudah jadi tersangka dan dijebloskan ke penjara. Dari hasil pemeriksaan sementara, polisi menyebut Priguna memiliki kelainan berupa fetish atau obsesi seksual kepada orang yang tak sadarkan diri atau pingsan.
Dalam perbincangan bersama detikJabar, Kriminolog Unisba Nandang Sambas memaparkan analisanya tentang kejahatan yang Priguna lakukan. Nandang pun mengutip dua teori pidana klasik yang dikemukakan dokter dan kriminolog Italia, Cesare Lombroso, serta sosiolog Belanda, Willem Bonger.
Menurut Nandang, perilaku Priguna itu bisa masuk dalam kategori pidana karena faktor bawaan, termasuk masalah penyakit seksual. Kemudian, ada faktor lingkungan masa lalu dan masa sekarang yang ikut memengaruhi sebuah tindakan kejahatan itu terjadi.
“Bisa karena bawaan, penyakit, termasuk lingkungan dari bawaan dia atau lingkungan sekarang yang mempengaruhinya,” kata Nandang Sambas saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (11/4/2025).
Lalu, Nandang Sambas secara spesifik menyoroti masalah kejiwaan yang diduga Priguna miliki. Dalam teori hukum pidana, kata Nandang, gangguan kejiwaan memang bisa dijadikan faktor untuk mengurangi pertanggungjawaban pidana yang dia lakukan.
Namun untuk kasus Priguna, Nandang justru memandang bahwa gangguan kejiwaan si dokter residen PPDS ini justru bisa memperberat hukuman pidananya. Karena saat kasus ini terjadi, Priguna punya modus yang telah dia rencanakan, salah satunya dengan cara membius korban yang dia incar.
“Memang dalam teori hukum pidana, gangguan kejiwaan itu bisa dijadikan salah satu faktor yang dapat mengurangi pertanggungjawaban. Tapi jangan-jangan malah, dia juga dapat memperberat. Karena dari informasi yang berkembang, itu kan sudah dipersiapkan yah,” ungkapnya.
“Nah, kalau dia ada gangguan kejiwaan, ini justru menurut saya tidak bisa mengurangi. Ini justru fatal karena dia mempersiapkan, dia memanfaatkan kemampuan dirinya sendiri dengan meracik obat, dia tahu bagaimana pengaruhnya bius dan lain-lain, itu justru jadi pemberatan untuk hukumannya,” tambahnya.
Nandang melanjutkan, Priguna juga diduga tak hanya sekali melakukan tindakan pemerkosaan. Sebab dalam pandangannya, Priguna seakan sudah paham tentang lingkungannya, situasinya, hingga kapan waktu yang bisa dia gunakan untuk korban incarannya.
“Dia semacam sudah mempelajari, pasien mana yang mau jadi objeknya. Jadi kalau menurut saya, sakitnya itu karena hiper. Itu bisa memperberat, bukan meringankan. Tinggal penyidiknya cermat dalam menyusun hukumannya,” urainya.
Meski demikian, Nandang tetap menyoroti upaya rehabilitasi untuk Priguna jika memang mengalami kelainan seksual. Ini dilakukan supaya dia bisa sembuh dari perilaku menyimpangnya setelah bebas dari masa tahanan.
“Ke depannya bukan hanya pidana. Kalau memang ada gangguan jiwa, harus direhabilitasi kejiwaannya. Jangan sampai sekian tahun dia keluar, dia melakukan lagi itu, walau dalam situasi dan kondisi berbeda. Karena siapa tahu dia bisa mengulanginya lagi,” pungkasnya.