Jejak Transportasi Darat Sukabumi, dari Pedati ke Diesel

Posted on

Sebelum deru mesin dan aroma solar menjadi denyut kehidupan di jalan-jalan Sukabumi, roda-roda kayu pedati melintasi jalur tanah berbatu yang menghubungkan desa dengan kota dan pantai.

Tahun 1830, Pemerintah Hindia Belanda bahkan telah menetapkan tarif resmi untuk angkutan pedati dari Sukabumi ke Pelabuhanratu, sebesar 17 Gulden. Tarif itu disahkan oleh Gubernur Jenderal melalui sekretarisnya, C Visscher.

Kala itu, orang-orang penting dari Batavia atau Buitenzorg yang hendak menuju Sukabumi kerap menumpang reiswagen, kereta kuda beratap yang bisa dilipat menjadi baros atau barouche. Tapi kendaraan ini bukan milik rakyat kebanyakan.

“Kendaraan tersebut jarang melewati Sukabumi kecuali dipesan oleh orang penting seperti Andries De Wilde atau Bupati,” ujar Irman Firmansyah penulis Soekaboemi The Untold Stories, kepada infoJabar, Sabtu (31/5/2025).

Reiswagen biasanya ditarik oleh empat hingga enam kuda, melaju dengan kecepatan 10 paal per jam. Namun di balik keanggunannya, kendaraan ini punya kelemahan fatal.

“Asnya kurang kuat dan sering patah, sehingga umumnya para pegawai, pendeta dan menak Sukabumi menggunakan kahar dongdang,” katanya. Kahar dongdang adalah tandu tertutup yang dipanggul, lebih stabil untuk perjalanan jauh di medan yang sulit.

Segalanya berubah ketika kereta api masuk. Pada 1881, rel dari Bogor sampai Cicurug mulai dibangun, dan setahun kemudian mencapai pusat Kota Sukabumi. Moda kereta api menjelma pilihan utama, menggantikan hewan tunggangan dan kendaraan kayu. Revolusi industri otomotif dunia pun mulai merambat ke Hindia Belanda.

“Mulai tahun 1900-an, bis mulai muncul di kota-kota besar, bahkan tahun 1912 sudah muncul Perusahaan Pengangkutan Djawatan Automobile (PDA),” ujar Irman.

Geliat transportasi bermotor makin terasa di Sukabumi pada dekade 1930-an. Trayek bus tumbuh pesat, menghubungkan kota dengan pesisir dan pegunungan.

“Hingga tahun 1938 trayek bis Sukabumi cukup beragam, di antaranya jurusan Batavia-Buitenzorg-Sukabumi, Cibadak-Panyindangan, Cibadak-Cikembang-Palabuhanratu-Cisolok, Sukabumi-Cikembar-Jampangkulon-Surade, Sukabumi-Sagaranten dan Sukabumi-Cianjur-Bandung,” papar Irman.

Perusahaan yang populer saat itu antara lain The & Zonen, Ster Autobus, Federal Knight Autobus, dan yang paling dikenaL, Ali Babah.

Namun gairah itu mendadak surut ketika Jepang menduduki Hindia Belanda. Mayoritas operator transportasi kala itu dimiliki orang kulit putih dan Tionghoa, yang langsung dibekukan oleh militer pendudukan.

“Pada masa Jepang kendaraan publik lumpuh total. Namun sedikit demi sedikit kendaraan mulai dioperasikan seadanya, tercatat bis yang beroperasi untuk trayek Sukabumi-Palabuhanratu. Bis yang beroperasi adalah The & Zonen yang hanya satu rit sehari dengan menggunakan minyak sereh sebagai bahan bakar,” kata Irman.

Setelah proklamasi kemerdekaan, denyut transportasi publik kembali bernafas. Pemerintah membentuk Djawatan Angkutan Motor Republik Indonesia (DAMRI) untuk memulihkan mobilitas rakyat.

“Bis yang beroperasi adalah DAMRI. Jurusan Sukabumi-Bandung dan Sukabumi-Batavia menjadi favorit masyarakat,” ujar Irman. Tak lama, muncul pula kendaraan Superban atau Suburban, yang oleh masyarakat lebih dikenal sebagai opelet, untuk trayek Sukabumi-Cianjur.

Memasuki tahun 1970-an, bus-bus bermesin diesel bermunculan. Nama-nama seperti Wahyu, Sinar Remaja Express, dan Rahayu Sentosa mulai dikenal sebagai moda yang lebih cepat dan luas jangkauannya.

Dari tandu yang dipanggul manusia hingga bus antarprovinsi berlogo metalik, Sukabumi telah menempuh jalan panjang dalam pergerakan. “Hingga tahun 1970-an bermunculan bis-bis semi modern seperti Wahyu, Sinar Remaja Express, Rahayu Sentosa,” ucap Irman menutup ceritanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *