Aroma bambu tercium merebak di permukiman di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Riak suara mesin pompa air kecil pun semakin terdengar ketika masuki Blok Gorda.
Sebuah dusun yang berada di tepi Sungai Cimanuk ini pun dijuluki sebagai kampung sujen atau tusuk sate. Bagaimana tidak, kerajinan khas yang berada di Desa Krasak, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu ini pun masih eksis sejak tahun 1970an lalu.
Wasidi (55) dan Dawi (57) misalnya, pasutri yang menggeluti tusuk sate itu mengaku hanya melanjutkan usaha yang diwariskan sejak zaman kakek buyutnya.
“Dari tahun 70an. Turun temurun dari kakek anak sampai buyut. Iya sampai sekarang buyut,” kata Wasidi ditemui infoJabar, Senin (2/6/2025).
Sekilas kata Wasidi, kala itu kerajinan sujen ini hampir merata di Blok Gorda. Bahkan, sempat menjadi salah satu matapencaharian utama warga setempat.
Diperkirakan sekitar 10 kepala keluarga mengandalkan sujen sebagai usaha utamanya. Namun, seiring waktu kerajinan itu pun hilang perlahan. Hanya sekitar 6 kepala keluarga yang mengandalkan bisnis dari bambu itu.
“Yang ganti profesi ya banyak tapi yang kuat (bertahan) di RT 14 Krasaknya tuh,” ujar Wasidi.
Produksi tusuk sate itu dikerjakannya hampir setiap hari. Bahkan hingga larut malam. Terlebih ketika menjelang Hari Raya Idul Adha, pesanan sujen dirasakan Wasidi semakin meningkat.
“Ramai. Banyak yang datang ke sini beli tusuk sate. Ya nggak banyak sih tapi hampir setiap orang yang mau bakar sate tuh banyak di hari raya Qurban,” ujarnya.
Biasanya, Wasidi hanya melayani sekitar 60 ikat tusuk sate. Hal itu pun hanya dikirim ke pelanggan tetapnya.
Pembeli tusuk sate produksinya datang dari berbagai daerah. Tak hanya di wilayah Kabupaten Indramayu. Wasidi pun sering mendapat pesanan dari Brebes Jawa Tengah hingga Cikarang.
Permintaan tusuk sate yang semakin meningkat jelang Idul Adha membuat Wasidi kebut produksi. Bahkan, proses meruncingkan lidi bambu diserahkan kepada tetangganya.
Carmi (36) salah satunya, saudara Wasidi kebagian berkahnya. Ia mendapat giliran meruncingkan tusuk sate.
Tangan Carmi pun terlihat mahir. Dengan pisau khusus, ia fokus meruncingkan satu persatu tusuk sate.
“Saya sih cuma berburu aja kalau lagi nganggur. Sehari bisa dapat 10 sampai 12 ikat,” ujar Carmi.
Ketika sedang fokus Carmi bisa mendapatkan upah sekitar Rp80 ribu sampai Rp100 ribu. “Satu ikat dibayar Rp8 ribu,” ungkapnya.
Kerajinan itu diakui Carmi menjadi penyangga kehidupannya. Suaminya yang belum lama meninggal harus banting tulang mencari nafkah.
Sehingga, ketika musim panen padi telah habis. Ia masih tetap mendapatkan sumber penghasilan dari tusuk sate.
“Alhamdulillah masih bisa hidupi keluarga karena sudah setahun suami meninggal,” ujarnya.
Keahlian meruncingkan tusuk sate bukan waktu yang singkat. Ia pun sebelumnya sempat membuka kerajinan tusuk sate bersama suaminya.
“Dulu waktu sama suami sih bikin produksi sendiri,” katanya.
Kuwu Desa Krasak, Khairul Isma Arif turut membenarkan warganya banyak yang membuka kerajinan tusuk sate.
“Itu di dekat lapangan bola Blok Gorda. Banyak di situ (kerajinan tusuk sate,” ujar Arif.