Cinta untuk Persib di Atas Kursi Roda

Posted on

Sejarah baru telah diukir Persib Bandung di Liga 1 musim 2024/2025. Selain menjadi kampiun, Maung Bandung menorehkan catatan mengesankan dengan back to back juara dan tampil begitu konsisten di setiap laga demi laga.

Di balik riuh tepuk tangan dan euforia penonton yang hadir langsung di lapangan, momen perayaan Persib menjadi juara musim ini pun terasa begitu istimewa. Sebab, penonton yang hadir ke Stadion GBLA tak hanya mereka yang setiap hari bisa beraktivitas dengan normal seperti biasanya, tapi juga ada sorak sorai dari kelompok disabilitas yang bisa secara langsung menyaksikan pemain kebanggaannya berlaga.

infoJabar pun berkesempatan berbincang dengan salah seorang perwakilan disabilitas yang pada musim ini tak pernah absen menonton Persib di Stadion GBLA. Dia adalah Taufik Hidayat, pria penyandang disabilitas daksa dan sehari-harinya harus menggunakan kursi roda untuk menunjang aktivitasnya.

Opik, begitu pria ini akrab disapa, sebetulnya sudah mulai menonton Persib secara langsung pada medio 2012-an. Saat itu, skuad Pangeran Biru masih menggunakan kandang Stadion Siliwangi, Kota Bandung dan dia ikut berbaur dengan bobotoh lain yang datang ke stadion.

“Saya pertama kali nonton Persib itu di Siliwangi tahun 2012-an. Waktu itu ditraktir sama temen kantor, namanya Arman Muhamad Hafiz. Kebetulan punya waktu luang, akhirnya nyempetin waktu nonton ke lapangan,” katanya.

Di Stadion Siliwangi, Opik pun mengakui aksesbilitas untuk para disabilitas amat begitu terbatas. Saat itu, ia masih menggunakan tongkat sebagai alat bantunya berjalan dan fasilitas yang ada belum bisa begitu menunjang keinginannya menyaksikan Persib berlaga di lapangan.

Meskipun kala itu ditraktir kawan kantornya, Opik tak merasa kapok dengan kondisi yang ada. Perlahan, ia menjadi ketagihan meskipun harus bersusah payah untuk bisa menonton langsung klub kebanggaannya di stadion.

“Waktu itu saya masih inget nontonnya di tribun timur. Wah, sangat mengkhawatirkan lah kalau bisa dibilang. Karena belum akses buat disabilitasnya. Tapi karena pengen, ya jadinya maksakeun lah kalau kata orang Sunda mah,” ucap Opik menceritakan momen-momen tersebut.

Seiring berjalannya waktu, Opik tak lagi mengandalkan kawan kantornya itu. Ia sempat menonton Persib ke stadion dengan tetangganya, bahkan teman semasa sekolahnya.

Tak lama di Siliwangi, Persib kemudian pindah kandang ke Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung. Opik pun akhirnya makin sering datang ke stadion karena rumahnya yang notabene tak begitu jauh di Banjaran.

Di tengah aktivitas barunya, Opik kemudian berkenalan dengan seorang pemilik bengkel modifikasi motor roda tiga khusus untuk disabilitas bernama Asep Jongkok atau Mang Ajo. Kebetulan di tahun itu, Opik punya rezeki sehingga memutuskan untuk membeli kendaraan demi mendukung mobilitasnya.

Obrolan saat itu ternyata membawa Opik tertarik untuk bergabung dengan Organisasi Penyandang Disabilitas (Opdis) di Bandung yakni Bandung Independent Living Center (BILIC). Kebetulan, saat itu Opik sudah menjadi atlet cabor bowling yang memperkuat tim Jawa Barat (Jabar).

“Saya kan dari mulai SD sampai kuliah itu pangkai tongkat. Bahkan pas kuliah, itu memerlukan perjuangan yang lumayan karena gedungnya belum akses. Jadi kuliahnya harus di lantai 3, lantai 5,” ujarnya.

“Dengan alasan itu, saya lalu punya keinginan aktif di organisasi disabilitas. Dengan tujuan apa yang saya alami di SD sampai kuliah itu tidak dialami anak saya. Itu tujuan sederhananya dulu,” tuturnya menambahkan.

Di BILIC, Opik lalu makin giat mengadvokasi para disabilitas, mulai dari daksa, rungu hingga netra yang punya keinginan untuk bisa hidup mandiri meski penuh keterbatasan. Audiensi ke pemerintah maupun swasta juga dibuka supaya target-target ini bisa direalisasikan sesuai rencana.

Karena berkecimpung di dunia olahraga, Opik dan organisasinya, BILIC lalu mencoba mengirim surat audiensi ke manajemen Persib, PT Persib Bandung Bermartabat (PBB) pada 2024. Kebetulan, Opik masih punya hubungan sepupu dengan Vice Presiden of Operation PT PBB, Andang Ruhiyat.

Gayung bersambut, surat itu pun mendapat respons positif dari PT PBB. Akhirnya, manajemen Persib mengajak Opik dan kawan-kawan disabilitas untuk datang langsung ke Stadion Si Jalak Harupat yang saat itu menjadi kandang Maung Bandung.

“Itu pas Persib mau juara, pertengahan musim tahun kemarin,” katanya.

Sejak saat itu lah, Opik dan kawan-kawannya jadi rutin mendapatkan kesempatan nonton Persib langsung ke stadion. Bahkan, antusias dari kawan-kawan disabilitas di BILIC begitu tinggi karena mayoritas bisa merasakan pertama kali atmosfer pertandingan menonton tim kebanggaan.

“Bahkan banyak yang tuna netra, mereka kan sebetulnya enggak ada yang bisa dilihat yah. Tapi mereka tetep ingin merasakan atmosfernya menonton di stadion,” tuturnya.

Tapi kemudian, masalah datang saat Persib pindah kadang dari Si Jalak Harupat ke Stadion GBLA. Sebab kata Opik, Si Jalak Harupat punya fasilitas yang mendukung untuk bisa diakses disabilitas. Sedangkan di GBLA, fasilitas itu begitu terbatas sehingga kerap menyulitkan Kawan-kawannya, terutama bagi Opik yang setiap hari menggunakan kursi roda sebagai alat bantu aktivitasnya.

Akhirnya, karena kondisi itu, Opik dan kawan-kawan di organisasinya perlu memutar otak. Undangan pun kemudian diberikan kepada para disabilitas lain seperti netra, atau mereka yang berjalan dengan kakinya sendiri meski tak memiliki tangan, supaya bisa menyaksikan para pemain Persib berlaga di atas lapangan.

Kepada infoJabar, Opik pun punya satu cerita berkesan dari salah satu kawan penyandang disabilitas netra. Pria ini masih bisa melihat meskipun dengan jarak yang begitu terbatas, sehingga harus tetap menonton melalui bantuan telepon genggamnya supaya saat menonton Persib di GBLA.

“Kemarin waktu ada temen netra juga, tapi kondisinya low vision. Jadi dia masih bisa melihat dengan jarak hanya 2 meter. Tapi dia itu saking mau nonton, dia sampai nonton pertandingannya itu dari HP. Dia nyalain HP, streaming, terus di-zoom. Secara pendengaran dia masih bisa mendengarkan atmosfer stadion, riuh riangnya penonton, tapi nontonya lewat HP, di deketin ke mata hapenya,” katanya.

Sampai kemudian, Opik kembali mendapatkan kesempatan untuk menonton secara langsung Persib di GBLA di dua laga kandang terakhirnya. Kebetulan, manajemen memfasilitasi Opik dan kawan-kawannya untuk menonton laga itu area royal box Stadion GBLA.

Bersyukurnya, fasilitas menuju area itu pun masih bisa diakses Opik dan kawan-kawannya yang notabene merupakan pengguna kursi roda. Termasuk, di laga pamungkas saat Persib menjamu Persis Solo, Sabtu (24/5/2025), sekaligus untuk pesta perayaan juara.

Setelah menjadi saksi momen bersejarah ini, Opik dan organisasinya pun berencana membuka komunikasi kembali dengan manajemen Persib. Apalagi, Stadion GBLA rencananya akan mendapat renovasi besar-besaran sehingga ia berharap bisa menyediakan fasilitas yang ramah bagi disabilitas.

“Karena sesuai aturan FIFA atau standar stadion taraf internasional, kita pengen di surat pengajuan audiensi itu temen-temen disasbilitas bisa dilibatkan dari mulai perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Kenapa? Agar tidak ada kerjaan dua kali,” ungkapnya.

“Jangan sampai akses disabilitas itu sudah dibuat, tapi ternyata bukan sesuai standarnya. Pada ujungnya kan enggak dipakai, dibongkar, terus bikin lagi. Jadi temen-temen ini ingin dilibatkan pada saat pembangunan atau renovasi GBLA, biar tidak sia-sia apa yang mereka siapkan,” tuturnya menambahkan.

Tak hanya itu saja. Opik juga akan berusaha untuk meminta kuota 100-200 kursi untuk penonton disabilitas di GBLA. Tapi, ia berharap kuota itu tidak dicampurkan dengan penonton umum supaya mobilisasi para disabilitas tetap terkontrol selama berada di stadion.

“Ini bukan kita ingin dispesialkan, tapi di undang-undang itu sudah diamanatkan soal penghormatan dan pemenuhan hak-hak disabilitas. Jadi kalau terjadi sesuatu, seperti di Malang misalnya, itu jadi terkonsentrasi, evakuasinya tidak sulit. Kita kan tidak tahu di lapangan kejadian-kejadiannya seperti apa. Makanya, ini harus jadi pertimbangan untuk PT PBB ke depannya,” katanya.

“Kita juga sebetulnya enggak mau statusnya diundang terus, kita juga ingin kalau ada rezeki, kita bisa beli tiket. Tapi fasilitasnya juga harus menunjang bagi disabilitas,” tambahnya.

Menutup perbincangannya, Opik pun berharap fasilitas publik di Kota Bandung bisa ramah terhadap disabilitas. Sehingga, para disabilitas tidak merasa dibeda-bedakan saat melakukan aktivitasnya sebagaimana negara-negara maju telah menerapkan sistem tersebut.

“Karena kita filosopinya no one left behind, jadi jangan sampai ada yang tertinggal. Termasuk temen-temen disabilitas punya kesempatan yang sama. Untuk temen-temen disabilitas jangan patah semangat dalam menyuarakan hak-hak kita, kita pun terus mencoba beraudiensi, mengadvokasi dengan pemerintah maupun swasta dalam hal appaun, supaya kita tetep bisa independent dalam kehidupannya,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *