Jepang dikenal sebagai salah satu negara dengan angka harapan hidup tertinggi di dunia. Tidak hanya berumur panjang, banyak lansia di negara tersebut juga tetap sehat, aktif, dan mandiri hingga usia lanjut.
Selama ini, faktor genetik kerap dianggap sebagai kunci utama. Namun, sebagaimana dilansir dari infoHealth, menurut konsultan ahli bedah saraf di Rumah Sakit Manipal, Malleshwaram, Dr. Sharan Srinivasan, rahasia umur panjang masyarakat Jepang justru terletak pada kebiasaan hidup sehari-hari.
Pandangan tersebut ia sampaikan berdasarkan pengalamannya menjalani program fellowship selama enam bulan di Universitas Kedokteran Wanita Tokyo pada 2015. Dalam periode itu, Dr. Srinivasan menyaksikan secara langsung bagaimana gaya hidup orang Jepang berperan besar dalam menjaga kesehatan jangka panjang.
“Umur panjang di Jepang bukan soal gen semata, tetapi bagaimana orang hidup, berpikir, dan merawat kesehatannya sejak muda,” tutur Dr. Srinivasan, dikutip dari India Today.
Ia menilai pendekatan kesehatan masyarakat Jepang bersifat preventif. Warga tidak menunggu sakit untuk berobat, melainkan aktif mencegah penyakit, menjaga kebugaran fisik, dan terus merangsang fungsi otak hingga usia lanjut.
Kebiasaan yang dilakukan secara konsisten selama puluhan tahun inilah yang berdampak besar terhadap kualitas kesehatan.
Salah satu hal yang paling mencolok di Jepang adalah sikap masyarakat yang tenang di ruang publik. Suara keras, pertengkaran, atau luapan emosi jarang terlihat, bahkan di tempat ramai seperti stasiun kereta dan jalanan kota.
Menurut Dr. Srinivasan, ketenangan tersebut bukan sekadar etika sosial, melainkan kebiasaan yang dibentuk sejak kecil dan dijaga sepanjang hidup. Pengendalian emosi yang stabil membantu menekan stres kronis, faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jantung dan otak.
Rasa hormat, kesabaran, serta disiplin diri tidak hanya membentuk tatanan sosial yang tertib, tetapi juga mendukung kesehatan mental dan fisik masyarakat Jepang.
Di Jepang, olahraga tidak selalu identik dengan pusat kebugaran atau latihan khusus. Berjalan kaki justru menjadi bagian alami dari rutinitas harian.
Rata-rata, masyarakat Jepang berjalan sekitar 7 hingga 7,5 kilometer per hari, misalnya dari rumah ke stasiun, menuju tempat kerja, hingga kembali pulang. Aktivitas ini dilakukan dengan ritme yang relatif cepat dan konsisten, sehingga memberikan manfaat kardiovaskular yang nyata. Kebiasaan tersebut juga dipertahankan hingga usia lanjut.
“Banyak lansia Jepang tetap aktif dan mandiri jauh setelah pensiun, berbeda dengan masyarakat yang aktivitas fisiknya menurun drastis seiring bertambahnya usia,” jelas Dr. Srinivasan.
Pendekatan preventif juga terlihat pada perawatan kesehatan otak. Jepang memiliki angka aneurisma serebral yang relatif tinggi, yakni kondisi pelemahan dinding pembuluh darah otak yang berisiko pecah dan menyebabkan perdarahan fatal.
Oleh karena itu, pemeriksaan otak secara rutin menjadi hal yang umum, bahkan dilakukan setiap tahun. Banyak kasus aneurisma ditemukan secara tidak sengaja saat skrining dan langsung ditangani sebelum menimbulkan komplikasi serius.
Dr. Srinivasan menegaskan bahwa di Jepang, usia bukan alasan untuk menunda atau menolak tindakan medis. Pasien berusia 80 tahun ke atas tetap menjalani operasi jika tindakan tersebut dapat membantu mempertahankan kualitas hidup dan kemandirian mereka.
Kemandirian juga menjadi ciri khas masyarakat Jepang, termasuk ketika menjalani perawatan di rumah sakit. Pasien umumnya tetap berjalan sendiri, mengurus kebutuhan pribadi, dan aktif dalam proses pemulihan, meski masih terhubung dengan infus.
Pendamping keluarga jarang terlihat, menegaskan bahwa pasien dipandang sebagai subjek aktif, bukan pasif. Menurut Dr. Srinivasan, sikap ini membantu membangun ketahanan fisik, mempercepat pemulihan, serta meningkatkan kepercayaan diri dan kesehatan jangka panjang.
Dari sudut pandang neurologi, aktivitas mental berkelanjutan sangat penting untuk penuaan yang sehat. Dr. Srinivasan menjelaskan bahwa otak bekerja dengan prinsip sederhana: jika tidak digunakan, fungsinya akan menurun.
Di Jepang, banyak lansia tetap bekerja, belajar hal baru, memecahkan masalah, dan terlibat dalam aktivitas intelektual. Stimulasi mental yang terus-menerus ini membantu menjaga fungsi kognitif dan menunda penurunan daya pikir akibat usia.
Namun, ia juga menyoroti sisi lain yang menjadi tantangan. Tingginya angka bunuh diri di Jepang menunjukkan adanya beban emosional yang besar, yang kemungkinan berkaitan dengan kemandirian ekstrem dan minimnya interaksi keluarga. Artinya, kesehatan fisik yang baik tetap perlu diimbangi dengan dukungan emosional.
Menurut Dr. Srinivasan, dunia dapat belajar banyak dari Jepang, mulai dari disiplin, ketenangan, gaya hidup aktif, hingga pemeriksaan kesehatan preventif. Namun, ia mengingatkan pentingnya keseimbangan dalam menjalani hidup.
“Kesehatan fisik perlu disertai dengan dukungan emosional, ikatan sosial, dan perhatian pada kesehatan mental,” ujarnya.
Pendekatan holistik yang menggabungkan pencegahan penyakit, aktivitas fisik dan mental, serta hubungan emosional diyakini dapat membantu seseorang hidup lebih lama, lebih sehat, dan tetap mandiri hingga usia lanjut.
Artikel ini sudah tayang di infoHealth







