Retakan, ketidaksempurnaan, dan proses yang tidak pernah sepenuhnya bisa dikendalikan menjadi inti dari karya ‘Beyond the Scars’ milik Almira Nur Dzakirah. Mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung ini menghadirkan 13 burung keramik yang seolah sedang terbang, sebagian tubuhnya ditumbuhi lumut berwarna merah.
Karya tersebut dipamerkan dalam pameran seni rupa ‘Jeda’ di The Hallway Space pada 22-24 Desember 2025. Bagi Almira, Beyond the Scars bukan sekadar karya tugas kuliah, melainkan refleksi personal tentang bagaimana manusia berdamai dengan luka, kehilangan kendali, dan ketidaksempurnaan hidup.
Almira mengungkapkan bahwa gagasan karyanya berangkat dari filosofi Jepang wabi-sabi, yang memandang keindahan justru lahir dari ketidaksempurnaan dan ketidakabadian.
“Tema Beyond the Scars aku ambil dari pandangan wabi-sabi. Di sini aku merangkul kenyataan bahwa hidup itu nggak pernah benar-benar sempurna. Karya ini juga jadi refleksi aku tentang resiliensi jiwa manusia dalam menghadapi kehidupan yang rentan akan kerapuhan,” ujar Almira saat berbincang dengan infoJabar, Rabu (24/12/2025).
Ia menuturkan, dalam hidup manusia kerap dihadapkan pada situasi di luar kendali yang berujung pada penyesalan. Namun bagi Almira, penyesalan bukanlah akhir. Ia justru menjadi ruang perenungan untuk kembali melangkah dengan kesadaran baru.
Karya Beyond the Scars sendiri merupakan bagian dari mata kuliah Proyek Seni Rupa Dua, lanjutan dari pengalaman pameran Almira pada semester sebelumnya melalui Proyek Seni Rupa Satu. Proses penciptaannya berlangsung selama satu semester penuh atau sekitar enam bulan, dengan setiap burung keramik dikerjakan secara manual, satu per satu.
“Proses yang paling penting justru ada di pembuatannya. Dari modelling saja harus nunggu karena tanahnya kadang masih basah, jadi aku harus sabar. Di pembakaran juga pasti muncul retakan. Dari awal sampai akhir, nggak ada yang benar-benar sempurna, termasuk waktu lumutnya ditempel, banyak juga yang nggak nempel,” jelas Almira.
Secara teknis, Almira memulai karyanya dengan tahap modelling menggunakan tanah stoneware, membentuk tubuh burung terlebih dahulu sebelum menambahkan sayap dan detail lain. Karya kemudian dibakar secara bertahap dengan suhu mencapai 900 derajat Celsius, fase yang menurutnya paling menegangkan.
“Tantangan terbesarnya ada di pembakaran, karena kita nggak bisa memprediksi hasilnya. Ada yang retak, ada yang hasilnya bagus. Masa nunggu hasil bakar itu satu hari penuh,” katanya.
Setelah proses pembakaran selesai, Almira menambahkan lumut yang sebagian ia kumpulkan dari jalanan dan sebagian dibeli. Lumut tersebut diwarnai merah dan ditempel menggunakan lem, setelah eksperimen menggunakan tanah liat tidak berhasil.
Warna merah pada lumut menjadi elemen yang sangat personal. Almira mengaku warna tersebut berkaitan dengan pengalaman penyembuhan diri yang pernah ia alami, sekaligus refleksi atas isu mortalitas.
“Warna merah itu sangat personal buat aku. Karya ini juga bentuk refleksi dari masa penyembuhan diri aku, karena sempat mengalami sakit. Dari situ aku mengangkat isu mortalitas. Aku ingin warna merah ini bisa meng-evoke perasaan yang mungkin mengganggu, tapi tetap bisa direnungkan,” ungkapnya.
Pemilihan burung sebagai subjek utama pun memiliki makna simbolik yang kuat.
“Burung terbang aku pakai sebagai penggambaran jiwa manusia yang bebas. Tapi di kehidupan ini, kebebasan itu juga rentan akan kerapuhan dan punya konsekuensi-konsekuensi yang bisa destruktif,” jelas Almira.
Selama proses pengerjaan, konsep karya ini terus berkembang melalui asistensi rutin bersama dosen pembimbing hampir setiap minggu. Salah satu perubahan penting adalah keputusan mengganti lumut hijau segar dengan lumut berwarna merah untuk memperkuat pesan visual dan emosional karya.
Melalui Beyond the Scars, Almira ingin menyampaikan pesan sederhana kepada pengunjung agar tidak terjebak pada obsesi akan kesempurnaan.
“Aku ingin orang-orang bisa menerima ketidaksempurnaan dalam hidup mereka. Jangan terlalu mengejar kesempurnaan, karena apa yang kita punya dan miliki sekarang sebenarnya sudah cukup,” tuturnya.
Saat karyanya akhirnya terpasang di ruang pameran, Almira mengaku merasakan kelegaan setelah melalui proses panjang yang penuh keraguan.
“Selama satu semester aku cukup takut dan ragu, terutama soal display. Tapi pas sudah dipajang, rasanya lega dan senang. Seperti terbayarkan satu semester penuh,” katanya.
Ke depan, Almira berharap dapat terus mengeksplorasi medium keramik dan memperdalam praktik berkaryanya.
“Aku ingin mendalami keramik lebih dalam dan semoga bisa terus membuat banyak karya lain ke depannya,” pungkasnya.
Melalui burung-burung keramik yang retak dan tak sempurna itu, Beyond the Scars menjadi pengingat bahwa luka bukanlah sesuatu yang harus disembunyikan. Di sanalah justru manusia belajar menerima, bertahan, dan tumbuh.






