Gelap merangkak turun di Kampung Sawah Tengah, Kadusunan Kawung Luwuk, Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan. Namun, tidak ada aroma masakan ibu-ibu yang biasanya mengepul dari dapur, tidak ada riuh rendah anak-anak mengaji, pun tak terdengar gurau bapak-bapak di pos ronda.
Yang tersisa hanya suara gemuruh air. Konstan, menakutkan, dan semakin mendekat.
Di jalan setapak yang becek dan berlumpur, lampu motor menyorot samar ke arah deretan bangunan kosong yang gelap gulita. Kampung Sawah Tengah kini telah menjadi kampung mati. Kesunyian di sini bukan tanda kedamaian, melainkan jejak kepanikan dari pelarian massal menghindari maut.
Ustaz Abdul Manan, tokoh masyarakat setempat, menyaksikan info demi info kehancuran kampungnya. Ia tak kuasa menahan getir, menyebut tempat kelahirannya kini tak lagi layak disebut pemukiman.
“Ini bukan seperti kota mati lagi, tapi kayak ‘lembur kuburan’ (kampung kuburan). Sudah tidak ada satu pun yang tinggal di sini sekarang,” ucapnya lirih.
Metafora itu tidak berlebihan. Rumah-rumah yang ditinggalkan menampakkan pintu-pintu ternganga dan ruang tamu yang berantakan. Namun, kengerian terbesar terlihat di bagian belakang rumah.
Di sana, di balik pintu dapur yang biasanya mengarah ke halaman atau kebun, kini yang terlihat adalah jurang menganga. Aliran Sungai Cidadap yang keruh dan deras mengalir tepat di bibir lantai keramik rumah warga.
“Dulu, permukaan sungai berjarak sekitar 300 meter dari sini. Sekarang, kali itu sudah ada di rumah-rumah warga. Lembur (kampung) ini sudah jadi kali,” ungkap Ustaz Manan menggambarkan transformasi mengerikan bentang alam.
Kesunyian Sawah Tengah semakin pekat setelah Sarifah (40), warga terakhir yang bertahan di RT 06/15, akhirnya menyerah. Selama tiga hari terakhir, ia hidup dalam teror setiap kali tanah di bawah rumah warisan orang tuanya runtuh digerus air.
“Tiap *ngagebrug* (tanah ambruk) itu kerasa banget getarannya. Keras,” kenang Sarifah dengan tatapan kosong.
Rumah yang telah ia huni selama 40 tahun itu kini terasa asing dan mematikan. Tetangga kiri-kanannya sudah lama pergi, rumah mereka telah lebih dulu “dimakan” sungai hingga lenyap tak berbekas.
Sarifah terpaksa menyerah. Dengan berat hati, ia mengemasi barang-barang dan pindah mengontrak di Palabuhanratu, menjauhi deru sungai yang terus menggerus.
“Ini yang terakhir saya pindah, orang-orang sudah pada pindah duluan. Pasrah saja,” ucapnya menutup pintu masa lalunya.
Kini, Kampung Sawah Tengah benar-benar kosong melompong. Saat ini, puluhan Kepala Keluarga (KK) telah mengungsi. Data Desa Cidadap mencatat 24 KK kini berpindah tidur berdesakan di lantai dingin SDN Kawungluwuk.
Di Sawah Tengah, pepohonan rimbun yang menaungi atap-atap genteng berlumut kini menjadi saksi bisu. Kampung yang dulunya hidup, kini perlahan hilang dari peta.
Malam ini, Sawah Tengah kembali menyesap sunyi. Hanya ditemani suara arus Sungai Cidadap yang terus lapar, menanti waktu untuk menelan sisa-sisa bangunan yang masih berdiri gemetar di tepi jurang.







