Wajah Sarifah (40) tampak lelah. Di teras rumah besarnya di RT 06/15 Kampung Sawah Tengah, Desa Cidadap, ia duduk di antara barang-barang yang telah dikemas.
Ia adalah warga terakhir yang masih bertahan. Tetangga kiri dan kanannya sudah lebih dulu angkat kaki meninggalkan kampung yang kini nyaris mati itu.
Rumah peninggalan orang tuanya, yang ia tempati sejak lahir selama 40 tahun, kini berada di ujung tanduk. Bukan karena lapuk dimakan usia, melainkan karena “dikerat” oleh aliran Sungai Cidadap yang kian ganas.
“Tiap ngagebrug (tanah ambruk) itu kerasa banget getarannya. Keras,” ungkap Sarifah dengan mata berkaca-kaca, menggambarkan kengerian saat tanah di bawah rumahnya runtuh sedikit demi sedikit, Kamis (18/12/2025).
Sarifah menunjukkan kondisi bagian belakang rumahnya yang ekstrem. Pintu ruang belakang yang dulunya penghubung, kini langsung menghadap ke jurang sungai yang mengalir deras. Sungai itu kini tepat berada di ambang pintu.
“Ini dulunya rumah besar, sampai ke depan sana. Sekarang situasinya begini. Sudah mendekat banget ke rumah ini, makanya harus segera pindah,” tuturnya.
Ibu tiga anak ini mengaku tidak pernah memiliki firasat bahwa rumah masa kecilnya akan berakhir tragis seperti ini. Ia mengenang, setahun lalu jarak sungai masih ratusan meter dari rumahnya.
Namun, bencana banjir Desember ini mempercepat segalanya. “Kejadian Desember tahun lalu itu menggerus sekitar 100 meter. Dulu awalnya 200 meter lebih. Enggak pernah nyangka, enggak ada terpikirkan akan seperti ini,” kenangnya.
Suami dan ketiga anaknya sudah lebih dulu dipindahkan demi keamanan. Sarifah bertahan sendiri hingga hari ketiga sungai menjebol halaman belakangnya, semata-mata untuk menyelamatkan sisa harta benda.
Alih-alih menuju posko pengungsian, Sarifah memutuskan membawa keluarganya mengontrak di Palabuhanratu.
“Di sana (Posko SDN Kawungluwuk) terlalu banyak yang mengungsi. Barang-barang juga enggak mungkin cukup tertampung. Terpaksa kita ngontrak,” jelasnya.
Kini, Sarifah harus menerima kenyataan pahit. Rumah tempat ia dibesarkan dan membesarkan anak-anaknya sudah tidak layak huni. Tetangganya sudah habis, rumah-rumah di sekitarnya sudah lenyap.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
“Ini yang terakhir saya pindah, orang-orang sudah pindah duluan. Rumah warga lain sudah habis, sudah tidak ada lagi,” ucapnya lirih.
Di tengah kepasrahan, Sarifah hanya menitipkan satu harapan kepada pemerintah: sebuah tempat tinggal pengganti. Karena bagi Sarifah, kembali ke Sawah Tengah sudah bukan lagi pilihan.
“Sebenarnya ini bukan kemauan kita. Cuma mau tidak mau, harus pindah. Sudah enggak bisa berkata apa-apa lagi. Pasrah saja,” pungkasnya.







