Suasana di Kampung Sawah Tengah, Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan, kini sunyi dan mencekam layaknya kota mati.
Bencana erosi Sungai Cidadap yang terjadi pada Minggu malam (14/12/2025) tidak hanya menghanyutkan bangunan, tetapi juga memupus harapan warga yang merasa lambatnya penanganan dari pemerintah.
Ustaz Abdul Manan, tokoh masyarakat setempat, menggambarkan situasi terkini dengan istilah yang menyayat hati. “Ini bukan seperti kota mati lagi, tapi kayak ‘lembur kuburan’ (kampung kuburan). Sudah tidak ada satu pun yang tinggal di sini sekarang,” ujarnya dengan nada tinggi, Senin (15/12/2025).
Menurut Abdul Manan, kondisi saat ini jauh lebih parah dibandingkan peringatan bulan lalu. Jika sebelumnya hanya ancaman, kini kerusakan fisik sudah terjadi di depan mata.
“Ini mah lebih dari panik. Dua kali lipat dari kemarin. Kalau kemarin permukiman warga belum ada yang ambruk, sekarang sudah ada empat bangunan termasuk Majelis Taklim yang kemarin sempat disurvei, itu sudah ambruk,” tegas Manan.
Ia menjelaskan bahwa sebanyak 23 Kepala Keluarga (KK) terpaksa angkat kaki dan mengungsi ke SDN Kawungluwuk yang berada di dataran lebih tinggi.
Kekecewaan warga memuncak terkait respons pemerintah. Manan dan Muhammad Rian Ardiansyah, warga lainnya, menyuarakan kemarahan mereka terhadap lambatnya pengiriman alat berat yang sudah diminta sejak lama.
Meskipun Camat, Kepala Desa, hingga Kapolsek Simpenan telah datang meninjau lokasi, warga merasa itu belum cukup.
“Saya berterima kasih mereka datang. Cuman saya enggak butuh datangnya, tapi saya butuh kepastian tindaknya. Minimal sudah di-ACC lah,” ujar Manan dengan tegas.
Ia menekankan bahwa permintaan normalisasi sungai menggunakan alat berat sudah disuarakan sejak air sempat surut beberapa waktu lalu, namun tidak ada realisasi hingga bencana terjadi.
“Tolong mohon sangat diturunkan alat beratnya. Kita sudah berbicara panjang lebar pun tetap enggak ada yang datang,” keluh Muhammad Rian menimpali.
Pantauan di lokasi pada Senin (15/12/2025), wajah Kampung Sawah Tengah memang menyajikan pemandangan yang mencekam.
Deru air Sungai Cidadap terdengar dominan, mengiringi aliran air berwarna cokelat pekat yang terus menghantam dinding-dinding tanah di tikungan sungai.
Pantauan di lapangan menunjukkan betapa ganasnya erosi yang terjadi semalam. Tebing tanah setinggi beberapa meter tampak terpotong tegak lurus, menciptakan jurang baru yang memisahkan permukiman dengan dasar sungai.
Di beberapa titik, bagian depan rumah warga telah hilang sepenuhnya, membuat pondasi bangunan seolah menggantung tanpa penyangga tanah yang kokoh.
Sisa-sisa kehidupan warga masih terlihat pagar bambu yang rusak hingga tanaman hias namun penghuninya telah pergi. Rumah-rumah permanen, termasuk satu bangunan bercat biru yang kondisinya masih bagus, kini berdiri sunyi hanya beberapa meter dari ancaman hanyut.
Kepanikan yang digambarkan Ustaz Manan dan pantauan mengerikan di lapangan dirasakan langsung oleh Khairudin (46), warga yang rumahnya kini berada di ujung tanduk.
Pria yang sudah 11 tahun tinggal di lokasi tersebut menceritakan info-info saat tanah di belakang rumahnya amblas digerus air pada Minggu malam sekitar pukul 22.00 WIB.
“Rasanya was-was, terdengar suara gemuruh air,” kata Khairudin.
Khairudin, yang sebelumnya memiliki jarak aman 10 meter dari bibir sungai, kini hanya bisa pasrah melihat jarak itu terpangkas habis. “Sekarang jarak ke sungai tinggal satu meter. Sudah tidak bisa ditempati lagi, harus pindah,” ungkapnya.
Ia mengaku bingung karena hingga wawancara berlangsung, ia belum memiliki tujuan tempat tinggal pengganti. “Bingung, belum punya tempat pindah. Solusi (relokasi) dari pemerintah juga belum ada,” tambahnya.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Sumardiana, guru SDN Kawungluwuk sekaligus koordinator pengungsi, dampak bencana ini meluas hingga ke kampung tetangga. Selain kerusakan parah di Sawah Tengah, banjir juga merendam sekitar 15 rumah di Kampung Cisarua dan 10 rumah di Kampung Babakan.
Kapolsek Simpenan, AKP Bayu Sunarti, yang turun ke lokasi menegaskan bahwa area tersebut sudah sangat berbahaya. Pihaknya telah membawa bantuan darurat berupa beras, mi instan, dan perlengkapan bayi.
“Situasinya sangat mengkhawatirkan. Kami menghimbau warga yang rumahnya terdampak untuk segera menyelamatkan diri dan bergabung di pengungsian,” ujar AKP Bayu.
Saat ini, puluhan warga bertahan di gedung sekolah dengan fasilitas seadanya, menanti kepastian nasib tempat tinggal mereka yang kini telah menjadi “kampung mati” akibat amukan Sungai Cidadap.







