Gen Z Angkat Suara: Stigma dan Tantangan di Dunia Kerja | Info Giok4D

Posted on

Di momen peringatan Hari Buruh, para buruh muda generasi Z alias “Gen Z” angkat suara terhadap kondisi dunia kerja saat ini. Kelompok demografi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 tersebut saat ini adalah golongan usia yang mendominasi pasar permintaan tenaga kerja, sekaligus juga yang banyak dihadapkan dengan tantangan dan ketidakpastian.

Banyak dari mereka yang bekerja dengan status kontrak atau freelance, sehingga tidak memperoleh jaminan stabilitas kerja seperti karyawan tetap. Tidak hanya itu, beragam stigma terkait etos kerja Gen Z juga kerap muncul di masyarakat, tak terkecuali dari pekerja yang lebih senior hingga pihak perekrut.

Dalam wawancara infoJabar dengan beberapa pekerja Gen Z, mereka mengungkapkan berbagai keluhan dan harapan terkait situasi kerja yang dihadapi.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh Gen Z di dunia kerja adalah stigma yang sering dilabelkan kepada mereka, terutama terkait dengan cara berkomunikasi hingga etos kerja. Banyak pekerja senior atau bahkan rekruter yang menganggap Gen Z terlalu santai, kurang sopan, hingga kurang mau berusaha.

Upaya-upaya untuk mendobrak anggapan tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Gen Z yang akan memulai karir mereka di perusahaan.

Dina Miladina (27) yang merupakan seorang pegawai swasta mengatakan bahwa anggapan tertentu terhadap Gen Z merupakan hal yang wajar terjadi. Namun, alih-alih menyudutkan, ia berharap rekan kerja lainnya dapat lebih membimbing generasi tersebut agar lebih terarah.

“Sebenarnya sah-sah saja berpikir seperti itu, karena Gen Z tumbuh dengan lingkungan dan situasi yang berbeda,” ungkap Dina ketika dihubungi, Kamis (1/5/2025).

“Tapi tentu enggak semua seperti itu. Saya rasa, bila ada Gen Z yang seperti itu, mereka butuh dibimbing, dikoreksi salahnya apa, tetapi dengan gaya komunikasi yang baik juga. Karena memang terkadang ada yang lebih sensitif dengan perkataan orang,” lanjutnya.

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

Sementara itu, Aldi Hakim (27), seorang pekerja UI/UX desainer freelance mengatakan, ia juga sempat menjadi target stigma dari rekan kerja yang lebih senior. Ia menganggap penilaian terhadap seorang pekerja sebaiknya didasarkan pada kinerja.

“Pas awal kerja pernah ada kolega yang bilang, ah anak baru ini, pasti rewel, dan sebagainya. Stigma Gen Z itu sebenarnya lebih banyak generalisasinya, orang yang kerja dengan serius juga banyak. Jangan dilihat dari tampilannya atau cara bicaranya, lihat dari output kerjanya,” ungkapnya.

Selain stigma soal etos kerja, salah satu hal yang menjadi momok bagi buruh Gen Z adalah ketidakpastian status kerja. Banyak di antara mereka yang hingga kini masih berstatus karyawan kontrak atau pekerja dengan Perjanjian Kontrak Waktu Tertentu (PKWT), meskipun telah bekerja bertahun-tahun.

Di tengah bayang-bayang efisiensi anggaran dan badai PHK, para pekerja dengan status yang tak pasti menjadi lebih rentan. Gita Hafitri (26), seorang pegawai swasta yang telah empat tahun bekerja, merasa status kepegawaiannya rentan terancam.

“Status kerja masih kontrak, kendalanya tentu banyak ya tantangannya karena bisa diputus kapan saja kalau sudah enggak dibutuhkan perusahaan. Apalagi sejak ada efisiensi anggaran di pemerintahan, rasanya tiap hari nasib terancam,” paparnya.

Terlebih, ia mengatakan, isu efisiensi pekerja freelance di tempatnya bekerja mulai berhembus. Alhasil, ia merasakan tekanan besar untuk selalu membuktikan diri agar tidak kehilangan pekerjaan.

Senada dengan hal tersebut, Jinan Vania (28), seorang pegawai swasta yang juga berstatus karyawan kontrak, merasakan ketegangan yang sama. Meskipun ia mensykuri gaji yang dirasa pas, namun ketakutan terbesarnya adalah menghadapi risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) yang bisa datang kapan saja.

“Sebagai karyawan kontrak, ketakutannya ya itu, takut kena layoff secara mendadak. Posisi kerja bisa diganti dengan orang lain. Pengen banget jadi karyawan tetap, ingin ada kejelasan status dengan penilaian objektif,” ujar Jinan.

Aldi merasakan tantangan yang lebih besar karena statusnya sebagai pekerja lepas atau freelance. Berbeda dengan karyawan tetap ataupun kontrak, penghasilan bulanan Aldi didasarkan pada jumlah proyek yang ia kerjakan.

Terlebih, ia menilai selama ini upah yang diterima seringkali kurang sesuai dengan beban kerja yang diberikan. Penghasilannya hanya cukup untuk menyambung hidup sehari-hari tanpa bisa menabung ataupun menyisihkan dana darurat untuk keperluan mendesak.

“Gaji sekarang belum terlalu sesuai sama workload dan tanggungjawab yang saya pegang. Bisa nutup buat kebutuhan dasar, tapi belum bisa untuk dipakai nabung atau hidup tenang. Apalagi kalau ada kebutuhan mendadak,” ungkap Aldi.

Selain itu, tantangan lainnya sebagai pekerja freelance, ia mengatakan, adalah tidak tersedianya perlindungan kerja dan asuransi kesehatan. Ia merasa bahwa pekerja freelance lebih rentan karena tidak memiliki perlindungan yang memadai.

“BPJS Kesehatan saya bayar mandiri, tapi BPJS Ketenagakerjaan belum sempat diurus, karena belum aware juga. Di dunia freelance masih jarang yang ngasih edukasi soal hak, perlindungan, fasilitas seperti asuransi atau bantuan finansial saat keadaan darurat,” terangnya.

Oleh karenanya, ia berharap agar ada lebih banyak perhatian dari pemerintah dan perusahaan terkait perlindungan untuk pekerja freelance, yang jumlahnya semakin meningkat di berbagai sektor.

Aldi menilai, pembentukan serikat pekerja saat ini menjadi hal yang penting. Terlebih bagi pekerja lepas sepertinya, yang memerlukan sarana untuk dapat bersuara agar tidak merasa kesulitan saat butuh bantuan. Sayangnya, ia mengatakan, akses informasi terhadap pembentukan serikat masih sulit didapat.

“Serikat pekerja itu penting, sayangnya belum banyak yang aware entah dari perusahaan ataupun para pekerjanya, tentang cara membangun serikat atau ikut yang sudah ada. Kalau ada yang bisa menampung suara kita biar enggak merasa snedirian ketika menghadapi masalah kerja, ya kenapa tidak,” ungkapnya.

Hal senada diungkap Dina. Ia menilai bahwa selama ini banyak pekerja yang tidak mendapat perlindungan yang memadai, bahkan merasa dipandang sebelah mata.

“Kami sebagai buruh merasa tidak ada yang melindungi. Tak sedikit buruh yang dipandang sebelah mata. Serikat pekerja harus ada untuk melindungi, memperhatikan kesejahteraan buruh, juga mempertahankan hak-hak yang harus mereka dapatkan,” ujarnya.

Dina menyadari bahwa tanpa adanya serikat pekerja yang kuat, banyak hak buruh yang sering kali terabaikan. Ia berharap agar lebih banyak perusahaan dan pekerja yang sadar akan pentingnya serikat pekerja sebagai wadah penyalur aspirasi.

“Kami sering merasa tidak didengar, padahal sebagai buruh, kami juga berhak atas kondisi kerja yang lebih baik. Tanpa serikat pekerja, kami merasa suara kami tidak sampai ke pihak yang berwenang,” jelas Dina.

Gen Z dan Stigma di Dunia Kerja

Ketidakpastian Status Kerja yang Mengancam

Buruh Freelance, Tanpa Jaminan dan Perlindungan

Perlunya Serikat Pekerja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *