Magic mushroom atau jamur magic dikenal sebagai salah satu jenis jamur psikedelik populer. Mengonsumsi jamur ini terbukti membuat aktivitas otak menjadi lebih acak dan kurang terorganisir, dengan efek yang dapat bertahan selama beberapa minggu.
Temuan tersebut terungkap dalam studi terbaru yang mengamati perubahan konektivitas otak akibat penggunaan psilocybin, senyawa psikoaktif utama dalam magic mushroom. Para peneliti menduga, pengacakan pola konektivitas otak ini dapat meningkatkan fleksibilitas kognitif, yang mungkin menjelaskan bagaimana psikedelik membantu meringankan depresi dan gangguan kesehatan mental lainnya.
Melansir IFL Science, penelitian melibatkan tujuh partisipan yang diminta mengonsumsi psilocybin atau metilfenidat (bentuk generik Ritalin) dalam dosis tinggi. Setiap partisipan menjalani 18 pemindaian MRI otak selama beberapa minggu sebelum, sesudah, dan saat efek obat bekerja. Tujuannya untuk menelusuri dampak akut dan jangka panjang dari zat tersebut.
Pada awal penelitian, para ilmuwan menemukan bahwa setiap orang memiliki pola konektivitas jaringan otak yang unik, seperti sidik jari saraf. Namun, sesaat setelah mengonsumsi psilocybin, pola tersebut menjadi kacau sehingga identitas saraf individu tidak dapat dibedakan.
“Otak orang-orang yang mengonsumsi psilocybin terlihat lebih mirip satu sama lain daripada diri mereka yang tidak mengonsumsi psilocybin,” jelas penulis studi Nico Dosenbach dalam sebuah pernyataan.
“Individualitas mereka hilang untuk sementara. Hal ini memverifikasi, pada tingkat neurosains, apa yang dikatakan orang-orang tentang hilangnya jati diri mereka selama perjalanan,” lanjutnya.
Fenomena ini mendukung penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa zat psikedelik menciptakan kondisi otak entropik – di mana komunikasi antarjaringan menjadi longgar. Efek paling mencolok terjadi pada Default Mode Network (DMN), bagian otak yang mengatur kognisi sehari-hari seperti introspeksi, melamun, dan mengingat pengalaman pribadi.
Melalui hasil pemindaian, para peneliti menemukan bahwa DMN menjadi sangat tidak sinkron selama efek psilocybin berlangsung. Meskipun sebagian besar aktivitas jaringan kembali normal setelah efek obat hilang, konektivitas di DMN tetap lebih longgar hingga tiga minggu setelah konsumsi.
“Idenya adalah Anda mengambil sistem yang fundamental bagi kemampuan otak untuk berpikir tentang diri dalam kaitannya dengan dunia, dan Anda benar-benar mendesinkronkannya untuk sementara waktu,” ujar penulis studi Joshua Siegel.
Menurutnya, kondisi ini menciptakan pengalaman psikedelik dalam jangka pendek, sementara dalam jangka panjang dapat membuat otak lebih fleksibel dan berpotensi mencapai kondisi yang lebih sehat.
Pelemahan konektivitas yang bertahan di DMN sebelumnya telah dikaitkan dengan fenomena yang disebut efek cahaya senja psikedelik, yakni berkurangnya “obrolan mental” dan meningkatnya kemampuan seseorang untuk membentuk kembali pola pikir setelah mengonsumsi psilocybin, LSD, atau zat serupa lainnya.
Para peneliti menyimpulkan, desinkronisasi jaringan otak yang halus namun bertahan lama ini mungkin menjadi dasar efek terapeutik dari zat psikedelik. Studi lengkapnya telah dipublikasikan di jurnal Nature.
Artikel ini telah tayang di .







