Ratusan pohon kurma jenis barhee asal Irak berdiri tegak di antara ladang dan deretan pohon tropis. Daunnya menjuntai kaku seperti kipas baja, memantulkan cahaya matahari yang terik di atas tanah lembap Sukabumi. Sekilas, pemandangan itu terasa seperti fatamorgana.
Kebun itu berada di Kampung Cidahon Girang, Desa Mekarsakti, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, sekitar 25 kilometer dari pusat Geopark Ciletuh. Dari arah Palabuhanratu, perjalanan ke lokasi memakan waktu hampir dua jam melalui jalur Ciletuh – Ciwaru.
Setelah melewati jalan menanjak dan hamparan sawah, papan bertuliskan Kebun Kurma Ciemas terlihat di sisi kiri jalan, tak jauh dari jalur menuju Air Terjun Cimarinjung.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Kebun itu milik Alwi Rahmatullah (31), warga yang lima tahun lalu memutuskan menanam kurma di tanah yang sama sekali tak dikenal sebagai habitatnya.
“Kebun kurma kita bangun lima tahun yang lalu, kurang lebih satu tahun penyiapan lahan, selanjutnya kita penanaman,” ujarnya.
Dari 32 pohon pertama yang ia tanam, delapan kini sudah berbuah. “Nah ini yang sudah kita awal tahun kemarin berbunga dan panen Agustus dan Oktober ini,” imbuhnya.
Jenis kurma yang ia tanam bukan sembarang. Alwi memilih barhee, varietas asal Irak yang terkenal karena rasa manisnya bahkan saat masih muda. Ia menjelaskan alasannya,
“Jenisnya kurma Barhee asalnya dari Irak, jadi kita fokus menanam mayoritas yang jenis barhee karena dia punya karakter ketika masih muda rasanya manis dan harga jualnya juga cukup tinggi.”
Harga jual kurma muda dari kebunnya mencapai Rp300 ribu per kilogram, sebab permintaannya datang bukan hanya dari penikmat buah, tapi juga dari kalangan yang mencari khasiatnya.
“Karena dia memang kaya akan manfaat, oksidannya tinggi, dan biasanya dicari untuk program hamil, keguguran, dan obat lainnya,” tuturnya.
“Jadi itu yang pembeda dibandingkan dengan kurma kering yang dijual di Arab. Kita fokusnya di kurma muda untuk saat ini,” tambah Alwi.
Sebelum menanam, Alwi melakukan survei panjang untuk memastikan kesesuaian lahan. Ia menyebut, kawasan Ciletuh ternyata punya komposisi tanah dan intensitas cahaya yang mendukung.
“Kita sebelumnya survei dulu lokasinya seperti jenis tanah, suhunya, tingkat cahaya matahari, hama penyakit. Jadi sebelum melakukan penanaman, kita memang survei lokasi dan kita anggap bahwa di Ciletuh itu cocok. Akhirnya kita putuskan untuk melakukan penanaman,” jelasnya.
Bibit yang ia gunakan bukan dari sembarang sumber. “Kita pakai bibit yang kultur jaringan yang nomor satu di dunia,” ujarnya.
Di lahan seluas tujuh hektar itu, kini tumbuh lebih dari 430 pohon kurma, sebagian besar masih berusia dua tahun. Perawatannya lebih rumit dibanding tanaman tropis biasa.
“Untuk pengelolaan juga sama seperti tanaman perkebunan lainnya, pertama bagaimana pengairannya, pemupukannya,” ujar Alwi.
“Kita biasanya mupuk pakai organik enam bulan sekali pupuk kandang campur-campur, ada pupuk daun, kemudian ada juga pengelolahan limbah-limbah organik yang ada di kebun seperti kompos, sabut kelapa, dan lain-lain,” tambahnya.
Ia juga waspada terhadap hama dan penyakit yang tak lazim bagi tanaman gurun. “Di sana juga antisipasi kaya ada hama kumbang, kita antisipasi itu pencegahannya. Kemudian jamur kita rutin semprot. Jadi lebih intens perawatannya kurma ini dibandingkan dengan tanaman lain,” ungkapnya.
Meski begitu, Alwi tidak ingin bergantung pada teknologi berat atau bahan kimia. “Kalau treatment khusus kita memang tidak ada, kita sesuaikan dengan kondisi tanaman dan juga alam,” ujarnya.
“Yang penting kita usahanya bagaimana tanaman itu sehat, nutrisinya full, juga pengairannya aman. Jadi ketika dia sudah siap, apalagi kalau usianya di atas empat tahun, biasanya memang sudah normal berbunga. Nah ini kita lakukan dan ini memang ke depan berharap kebun kita menjadi percontohan yang ada di Indonesia,” imbuhnya.
Dari atas gardu pandang kebun, hamparan Ciletuh terlihat menakjubkan, pepohonan kurma berjajar menghadap laut selatan, dengan latar tebing dan sawah yang hijau. Bunga bougenville ungu tumbuh di tepi pagar, memberi sentuhan tropis pada lanskap yang tampak seperti potongan Timur Tengah terselip di Jawa Barat.
Alwi mengaku, hingga kini kebun kurma itu belum resmi dibuka untuk umum. “Jadi sebenarnya kita belum buka untuk umum,” katanya.
Namun unggahan para pengunjung di media sosial membuat kebun itu cepat viral. “Cuman kemarin keburu viral jadi teman-teman banyak yang konten kreator dan lainnya datang, di-share, akhirnya banyak yang berkunjung,” tuturnya sambil tersenyum.
Ia menegaskan, pengunjung tidak dikenai tiket. “Kita sampai saat ini memang tidak ada kenakan tarif biaya masuk, gratis, paling hanya kendaraan biaya parkir itu suka rela. Jadi tidak ada patok apa-apa,” ungkapnya.
Di bawah terik matahari yang memantul dari daun kurma, Alwi menatap lereng Ciletuh yang berundak. Baginya, kebun ini bukan sekadar usaha tani, tapi bentuk tantangan terhadap persepsi lama bahwa kurma hanya bisa tumbuh di gurun.
“Mengingat juga iklim kita di Ciletuh panasnya juga lumayan bagus, jadi ke depan kita harapkan di Ciletuh itu menjadi pusat kurma dan juga agrowisata, dan wisata lainnya,” katanya penuh keyakinan.
Ia berharap kebun ini bisa menjadi simbol keberanian petani lokal. “Di awal memang ini bagaimana mengedukasi kurma ini di masyarakat, terutama di awal ini bagaimana di Indonesia bisa berkebun kurma,” ujarnya menutup wawancara.
Di antara pengunjung yang datang, Risa Pebriyanti termasuk yang beruntung bisa mencicipi langsung kurma muda dari pohonnya. Ia mengatakan rasa buah itu menyegarkan dan berbeda dari bayangannya selama ini.
“Rasanya segar banget, manis tapi ada sedikit kecut asam, tapi tetap enak,” tuturnya. Risa mengaku terkejut bisa merasakan kurma langsung di tanah Sukabumi yang hijau dan lembap.
Ciletuh, Simbol Tanah yang Menantang Iklim
Ia juga waspada terhadap hama dan penyakit yang tak lazim bagi tanaman gurun. “Di sana juga antisipasi kaya ada hama kumbang, kita antisipasi itu pencegahannya. Kemudian jamur kita rutin semprot. Jadi lebih intens perawatannya kurma ini dibandingkan dengan tanaman lain,” ungkapnya.
Meski begitu, Alwi tidak ingin bergantung pada teknologi berat atau bahan kimia. “Kalau treatment khusus kita memang tidak ada, kita sesuaikan dengan kondisi tanaman dan juga alam,” ujarnya.
“Yang penting kita usahanya bagaimana tanaman itu sehat, nutrisinya full, juga pengairannya aman. Jadi ketika dia sudah siap, apalagi kalau usianya di atas empat tahun, biasanya memang sudah normal berbunga. Nah ini kita lakukan dan ini memang ke depan berharap kebun kita menjadi percontohan yang ada di Indonesia,” imbuhnya.
Dari atas gardu pandang kebun, hamparan Ciletuh terlihat menakjubkan, pepohonan kurma berjajar menghadap laut selatan, dengan latar tebing dan sawah yang hijau. Bunga bougenville ungu tumbuh di tepi pagar, memberi sentuhan tropis pada lanskap yang tampak seperti potongan Timur Tengah terselip di Jawa Barat.
Alwi mengaku, hingga kini kebun kurma itu belum resmi dibuka untuk umum. “Jadi sebenarnya kita belum buka untuk umum,” katanya.
Namun unggahan para pengunjung di media sosial membuat kebun itu cepat viral. “Cuman kemarin keburu viral jadi teman-teman banyak yang konten kreator dan lainnya datang, di-share, akhirnya banyak yang berkunjung,” tuturnya sambil tersenyum.
Ia menegaskan, pengunjung tidak dikenai tiket. “Kita sampai saat ini memang tidak ada kenakan tarif biaya masuk, gratis, paling hanya kendaraan biaya parkir itu suka rela. Jadi tidak ada patok apa-apa,” ungkapnya.
Di bawah terik matahari yang memantul dari daun kurma, Alwi menatap lereng Ciletuh yang berundak. Baginya, kebun ini bukan sekadar usaha tani, tapi bentuk tantangan terhadap persepsi lama bahwa kurma hanya bisa tumbuh di gurun.
“Mengingat juga iklim kita di Ciletuh panasnya juga lumayan bagus, jadi ke depan kita harapkan di Ciletuh itu menjadi pusat kurma dan juga agrowisata, dan wisata lainnya,” katanya penuh keyakinan.
Ia berharap kebun ini bisa menjadi simbol keberanian petani lokal. “Di awal memang ini bagaimana mengedukasi kurma ini di masyarakat, terutama di awal ini bagaimana di Indonesia bisa berkebun kurma,” ujarnya menutup wawancara.
Di antara pengunjung yang datang, Risa Pebriyanti termasuk yang beruntung bisa mencicipi langsung kurma muda dari pohonnya. Ia mengatakan rasa buah itu menyegarkan dan berbeda dari bayangannya selama ini.
“Rasanya segar banget, manis tapi ada sedikit kecut asam, tapi tetap enak,” tuturnya. Risa mengaku terkejut bisa merasakan kurma langsung di tanah Sukabumi yang hijau dan lembap.