Waswas Menyongsong Bebas dari Lapas, Sepenggal Kisah Napi di Bogor

Posted on

Seperti Andy Dufresne dalam film The Shawshank Redemption yang diam-diam menghitung setiap hari, sementara suara bijak Morgan Freeman sebagai Red mengisi cerita tentang harapan dan kecemasan di balik tembok penjara, begitulah perasaan sebagian narapidana menjelang bebas. Setiap malam terasa panjang, setiap suara kunci besi terdengar bagai isyarat kebebasan yang kian dekat, namun juga penuh kegamangan, bagaimana dunia di luar sana akan menyambut?

Bagi Alfiansyach (25), narapidana kasus judi online yang minta namanya disamarkan, penantian itu justru lebih menegangkan ketimbang awal masa hukumannya. Ia diputus bersalah dengan vonis 1 tahun 10 bulan penjara, ditambah 3 bulan kurungan subsidair.

“Kalau dulu pas baru masuk, saya hanya memikirkan bagaimana bertahan. Sekarang menjelang bebas, pikiran saya ke mana-mana. Saya takut tidak diterima keluarga, takut tetangga memandang sinis,” katanya lirih saat berbincang dengan infoJabar, Kamis (25/9/2025).

Rasa waswas itu wajar. Kebebasan memang bukan sekadar keluar dari pintu penjara, melainkan memasuki kehidupan yang sudah berubah. Dunia di luar sudah bergerak cepat. Pekerjaan, teknologi, bahkan orang-orang terdekat mungkin tak lagi sama.

Di balik tembok besi, Alfiansyach mengisahkan awal mula ia terjerumus ke dunia judi online. Selepas SMA di Batam, ia sempat menjadi pemain e-sport Mobile Legends. Namun ketika timnya gagal melanjutkan kontrak, hidupnya berubah drastis. Dari tawaran kerja biasa, ia justru diarahkan menjadi telemarketing situs judi online.

“Awalnya cuma blasting nomor, isi kata-kata. Lama-lama naik jabatan sampai jadi leader, pegang tiga situs besar di Bali. Gajinya bisa 24 juta sebulan,” kenangnya.

Zona nyaman itu runtuh seketika setelah aparat menangkapnya. Ia kehilangan tunangan, tabungan puluhan juta raib, dan masa depan serasa hancur.

“Pas pertama kali ditangkap, ancur semuanya. Tunangan pulang kampung, tabungan 17 sampai 20 juta kebawa. Kayak enggak ada pegangan lagi,” kisah Alfi.

Meski begitu, di dalam lapas Alfiansyach mencoba bangkit. Ia kini membantu di bagian humas, mengelola konten media sosial dan majalah lapas. Dari pekerjaannya di dunia maya yang dulu ilegal, ia menemukan ironi, keterampilan digitalnya justru bermanfaat untuk memberi informasi yang lebih positif.

“Aku adaptasikan cara ngefilter di judi online ke sini, jadi lebih gampang ngerjain konten lapas,” katanya.

Cerita lain datang dari Sadam (44), narapidana kasus narkotika yang dijatuhi 17 tahun penjara. Setelah melewati lebih dari separuh masa hukumannya, ia merasakan rasa waswas setiap kali bayangan bebas mulai dekat.

“Aku dua-duanya (bebas dan cemas). Ngarep banget pengen cepat pulang, tapi takut juga ngadepin dunia luar. Delapan tahun bukan waktu sebentar. Dunia di luar udah banyak berubah,” kata Sadam kepada infoJabar.

Sadam menafsirkan masa hukumannya sebagai ruang kontemplasi. Ia melihat setiap hari di balik jeruji sebagai teguran atas kesalahan-kesalahan kecil di masa lalu.

“Kalau dulu suka buang makanan, di sini jadi tahu rasanya menghargai setiap butir nasi. Kalau dulu suka jahilin orang, di sini dapat balasannya,” ujarnya.

Kehilangan tunangan yang dulu berjanji setia pun ia maknai sebagai tanda, bahwa bukan dia orang yang terbaik. Dari rasa kehilangan itu Sadam belajar bersyukur, menemukan pegangan baru lewat doa dan gereja yang kini ia datangi hampir setiap hari.

“Dulu setahun sekali, itu juga dipaksa,” Sadam berkelakar.

Namun kecemasan menghadapi bebas tetap menghantui. Sadam khawatir tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, takut ditolak masyarakat, bahkan waswas tawaran dari jaringan lama kembali datang.

“Kalau kita enggak kuat mental, bisa balik lagi. Makanya aku yakin harus punya keyakinan dulu. Kalau mau hidup baru, jangan lihat ke belakang,” katanya tegas.

Lebih jauh, ia menyadari stigma eks-narapidana bisa terasa menyesakkan. “Tolong jangan lihat masa lalu kita. Mungkin menurut mereka kita sampah, sudah bikin malu keluarga. Tapi kalau kita terus dipandang begitu, kita makin tenggelam. Padahal kami juga butuh support untuk mulai hidup baru,” ujar Sadam.

Ia kini menaruh harap pada keterampilan hidroponik yang dipelajarinya di lapas. Baginya aktivitas tersebut menjadi sebuah pilihan hidup yang sederhana, tapi lahir dari kesabaran, bukan jalan pintas saat menjadi bandar.

Bagi Sadam, kebebasan nanti adalah pertaruhan apakah ia akan dilihat sebagai sosok lama yang pernah terjerumus, atau sosok baru yang berjuang menghidupi dirinya dengan cara berbeda.

Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan Lapas Cibinong, Nu’man Fauzi, mengakui stigma masyarakat masih menjadi tantangan besar bagi warga binaan yang akan kembali kelak.

“Tujuan pemasyarakatan itu memulihkan hidup, baik hubungan dengan keluarga maupun dengan masyarakat. Karena itu pembinaan harus terbuka dan kemitraan harus diperkuat. Kami ingin masyarakat melihat perubahan mereka, bukan masa lalunya,” ujar Nu’man kepada infojabar.

Ia menegaskan, upaya itu dimulai dari pembinaan spiritual hingga pembekalan keterampilan. Dari mendekatkan diri pada Tuhan untuk memperkuat mental, hingga pelatihan kerja yang bisa jadi bekal nyata.

“Kami tetap konsisten menyampaikan bahwa mereka aktif, produktif, dan punya bekal. Tapi agar mereka diterima, masyarakat juga harus ikut bergandengan tangan. Jangan lihat masa lalu mereka, tapi dukung perubahan yang mereka jalani,” kata Nu’man.

Nu’man menekankan, pembinaan di lapas tidak bisa berjalan sendiri. Harus ada keterlibatan pihak ketiga, mulai dari pemerintah daerah, kementerian, dunia usaha, hingga komunitas. Salah satu upaya nyata yang kini dilakukan Lapas Cibinong adalah menjalin kemitraan dengan pelaku UMKM. Produk karya warga binaan mulai dari roti, makanan olahan, hingga kerajinan tangan, perlahan mulai ditawarkan untuk kegiatan rapat instansi maupun pameran.

“Beberapa kali kami sudah komunikasi dengan dinas UMKM. Misalnya untuk roti, ada penjajakan supaya kalau ada rapat-rapat bisa pesan ke Lapas Cibinong. Itu langkah awal, supaya karya warga binaan bisa masuk ke masyarakat,” jelasnya.

Meski begitu, ia mengakui masih ada kendala harga dan skala produksi. Produk warga binaan yang handmade seringkali lebih mahal dibanding produk pabrikan. Karena itu, Nu’man berharap ada dukungan lebih jauh dari jejaring UMKM lokal, dinas terkait, maupun komunitas wirausaha.

“Kalau hanya kami yang bicara, sering dianggap pencitraan. Tapi kalau masyarakat, pelaku usaha ikut bergandengan tangan, trust itu akan tumbuh. Warga binaan bisa dilihat dari karyanya, bukan masa lalunya,” Nu’man menandaskan.

Spiritual Jadi Penopang Harapan Baru

Pekerjaan Rumah Bernama Stigma

Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *