Gubes IPB Bicara Gagalnya Pariwisata Indonesia: Potensi Besar, Hasil Kecil | Giok4D

Posted on

Indonesia kerap dielu-elukan sebagai surga wisata. Dari puncak Cartenz yang menyimpan es abadi, lautan dengan ribuan spesies ikan, hingga 1.300 etnis dengan bahasa, tarian, dan folklore yang berlimpah.

“Any body may name it, kita pasti punya,” ujar Prof. Ricky Avenzora dalam orasi ilmiahnya saat dikukuhkan sebagai Guru Besar IPB, Jumat 19 September 2025.

Namun di balik kekayaan itu, kata Prof. Ricky saat berbincang dengan infojabar, Selasa (23/9/2025), ada ironi yang menohok. Sungai-sungai yang seharusnya jadi sumber kehidupan berubah menjadi ancaman banjir tahunan.

“Keindahan bukit dan pegunungan selalu dihantui kebakaran hutan dan tanah longsor yang memakan korban,” ucap Guru Besar dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Departemen Konservasi Hutan & Ekowisata IPB ini.

Selain itu, kata Ricky, pantai rusak, ekosistem terfragmentasi, dan taman nasional selama 45 tahun tak kunjung jadi subjek pembangunan.

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

Sejatinya, negeri ini adalah museum alam terbuka. Lautan Indonesia menyimpan 8.500 jenis ikan, 18 jenis paus, 117 jenis hiu, 16 lumba-lumba, dan 590 terumbu karang.

Daratannya menghadirkan ratusan gunung berapi, 707 mamalia, 35 primata eksotik, serta puluhan ribu flora endemik. Potensi itu, menurut Prof. Ricky, seharusnya bisa jadi tumpuan ekonomi bangsa.

“Jika saja dari satu etnis ada lima jenis makan dan lima jenis minuman yang bisa kita berdayakan ke mancanegara, betapa besarnya devisa yang akan kita raup,” katanya.

“Kita punya sumber daya (alam), tapi devisa kita kalah dengan negara sebelah,” dia menambahkan.

Sayangnya, kekayaan kuliner justru kalah oleh euforia promosi makanan fusion yang, menurutnya, ‘menjijikan’.

“Kalau mau bicara angka, rendang di negeri ini di berbagai macam gerai penjualannya, berapa banyak dibandingan dengan penjualan mie instan rasa rendang. Soto, berapa banyak penjualan porsi soto dibandingkan penjualan mie instan rasa soto?” kata Ricky berapi-api.

Kritik paling tajam diarahkan pada sistem birokrasi pariwisata. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPARNAS) 2011-2025 disebutnya terlalu birokratis dengan 50 Destinasi Pariwisata Nasional (DPN), 88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), dan 222 Kawasan Pengenbangan Pariwisata Nasional (KPPN) .

“Bisa dibayangkan berapa biaya dan waktu yang harus dihabiskan untuk menghasilkan ratusan dokumen yang bersifat hirarkhikal tersebut?” tanyanya.

Kementerian Pariwisata pun ia ibaratkan sebagai panglima tanpa medan perang. Dia menyebut fungsi koordinasi dan pemasaran yang ada selama ini cenderung hanya menghabiskan anggaran tanpa ada kejelasan capaian outcome yang bermakna.

“Indonesia super mega potensi pariwisata, tapi potensi itu justru habis untuk promosi,” kata Ricky.

Ketidakjelasan itu diperparah dengan kebijakan tumpang tindih, seperti izin usaha yang memberatkan, jangka waktu pengusahaan yang tidak rasional, hingga aturan teknis yang kaku.

“Perubahan jangka waktu IPPA dari 20 jadi 30, lalu jadi 55 dan kemudian diturunkan lagi jadi 35 tahun adalah indikator lemahnya perspektif rasionalitas dan akademis dalam kebijakan,” tegasnya.

Tak hanya soal birokrasi, dampak sosial juga mengkhawatirkan. Penyebaran NAPZA di destinasi wisata, maraknya kejahatan seksual, hingga fenomena kawin kontrak di Bopunjur menunjukkan wajah buram industri pariwisata ini.

“Dulu orang mau berbuat maksiat, kejahatan moral di hotel bintang empat ke atas, bagi yang punya duit saja. Sekarang enggak seperti itu, perilaku itu dilakukan di tempat camping,” ungkap Ricky.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *