Penamaan Bale Jaya Dewata untuk kantor Gubernur Jawa Barat yang akan menempati Gedung Negara di Jalan Siliwangi, Kota Cirebon, menuai kritik dari para pemerhati budaya setempat.
Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon menyatakan siap membuka ruang untuk menampung masukan-masukan terkait penamaan kantor gubernur yang ada di Cirebon.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Cirebon, Agus Mulyadi mengatakan bahwa Gedung Negara yang ada di Jalan Siliwangi, Kota Cirebon itu merupakan aset milik Provinsi Jawa Barat.
Gedung eks Karesidenan Cirebon itu lah yang akan dijadikan sebagai kantor Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Saat ini, tulisan Kantor Gubernur Bale Jaya Dewata pun telah terpampang di bagian depan halaman gedung tersebut.
“Eks Karesidenan di wilayah Provinsi (Jawa Barat) yang memang menjadi bagian aset provinsi itu dirubah namanya. Di Cirebon (namanya) Jaya Dewata. Itu aset provinsi,” kata Agus di Cirebon, Jumat (25/4/2025).
Agus pun angkat bicara menanggapi soal penamaan kantor gubernur yang dipersoalkan oleh sejumlah pemerhati budaya di Cirebon. Agus menyatakan siap memfasilitasi dan membuka ruang untuk menerima masukan.
“Jadi kalau memang ada masukan dari teman-teman budayawan, ya nanti bisa kita tampung atau mungkin kita bisa diskusi dengan pak gubernur terkait dengan nama (kantor gubernur),” kata Agus.
“Itu bisa dikomunikasikan sebenarnya. Kalau memang ada pendapat yang disampaikan dari hasil urun rembuk teman-teman budayawan, bisa disampaikan ke kami atau bisa disampaikan langsung ke beliau (gubernur),” kata menambahkan.
Sekadar diketahui, nama Bale Jaya Dewata yang disematkan pada Gedung Negara di Kota Cirebon yang akan difungsikan sebagai kantor Gubernur Jawa Barat, mendapat sorotan dari para pemerhati budaya setempat.
Salah satunya Jajat Sudrajat, yang mengaku kaget saat mengetahui hal itu. “Kemarin-kemarin itu saya dapat kabar dari teman-teman pegiat sejarah dan budaya Cirebon. Kemudian saya dikirimi foto, kantor Gubernur di bawahnya (ada tulisan) Bale Jaya Dewata. Penamaan ini dasarnya apa?” kata Jajat.
“Dan yang bikin saya kaget, kok tidak ada orang Cirebon yang diajak bicara (Membahas penamaan kantor Gubernur Jawa Barat),” sambungnya.
Jajat menyatakan setuju jika gedung eks Karesidenan dijadikan kantor gubernur, namun ia menyoroti proses penamaannya. “Saya setuju gedung eks karesidenan menjadi kantor gubernur. Cuma pada saat pemberian nama, apa salahnya sih pak gubernur ngajak bicara. Misalnya perwakilan dari keraton atau perwakilan dari pegiat budaya,” ujarnya.
Ia menilai banyak tokoh Cirebon yang layak untuk dijadikan nama gedung tersebut. “Kita banyak kok tokoh-tokoh Cirebon. Contohnya ada Panembahan Losari, bagaimana karya seni dia. Kemudian bagaimana kegagahan Pangeran Cucimanah,” ucapnya.
Hal senada disampaikan oleh pemerhati budaya Cirebon lainnya, Raden Chaidir Susilaningrat. Ia menilai, penamaan gedung seharusnya melalui musyawarah dengan pihak terkait.
“Penamaan gedung bersejarah semestinya dimusyawarahkan dengan semua pihak terkait, dalam hal ini stake holder kebudayaan, mengingat misi dari penamaan gedung itu yang tentunya berkaitan dengan upaya pelestarian warisan budaya bangsa,” kata dia.
“Tokoh-tokoh masyarakat, budayawan dan para pegiat budaya lokal juga perlu dilibatkan agar mendapatkan hasil yang lebih maksimal,” tambahnya.