Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Konflik warga dengan ular yang membuat tim Pemadam Kebakaran (Damkar) Kota Tasikmalaya turun tangan, kembali terjadi. Kali ini terjadi di Perumahan Situgede Indah, Kelurahan Mangkubumi, Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya.
Seekor ular sanca dengan panjang sekitar 3 meter membuat heboh, saat melata di selokan depan rumah warga. “Pemilik rumah namanya Pak Rusman, melaporkan keberadaan ular itu sekitar pukul 06.05 WIB. Saat pulang dari masjid, dia melihat ada objek mencurigakan di selokan depan rumahnya,” kata koordinator lapangan Damkar Kota Tasikmalaya, Hendrik Setiana, Jumat (19/9/2025).
Laporan segera diterima call center Damkar. Akhirnya regu 3 Damkar yang terdiri dari Zaenal, Fikrie, Dicky, dan Ikbal berangkat ke lokasi.
“Waktu evakuasi sekitar 12 menit, ular sanca dengan panjang sekitar 3 meter itu berhasil dievakuasi,” kata Hendrik.
Kejadian penemuan ular ini tentu bukan yang pertama. Hampir setiap pekan, tim Damkar Kota Tasikmalaya menerima pengaduan serupa.
“Kalau evakuasi ular memang lumayan sering, nyaris setiap minggu ada saja laporan temuan ular yang masuk ke permukiman warga,” kata Hendrik.
Terlepas dari hal itu, maraknya konflik warga dan ular ini tak hanya sebatas kejadian heboh atau unik. Kasus ini menjadi penanda terjadinya perubahan ekologi di lingkungan masyarakat.
“Ini sebenarnya jadi bukti bahwa habitat ular makin terdesak oleh habitat manusia. Kondisinya cukup dilematis memang,” kata Harniwan Obech, salah seorang aktivis lingkungan di Tasikmalaya.
Dia memaparkan alih fungsi lahan pertanian atau hutan menjadi kawasan permukiman terus terjadi. Sehingga perlahan habitat binatang semakin terdesak. Kondisi itu diperparah juga oleh ekosistem hutan atau sungai yang semakin buruk.
“Alih fungsi lahan terus terjadi, sawah dan kebun jadi perumahan. Kemudian sungainya tercemar, hutannya dirambah. Wajar kalau satwa seperti ular itu terdesak habitatnya,” kata Harniwan.
Ketika konflik atau warga bertemu ular pun, menurut Harniwan, warga selalu cenderung untuk membinasakan.
“Pengetahuan warga soal satwa liar juga masih terbatas, main binasakan saja. Ya walau pun tak dipungkiri, kemunculan ular bisa mengganggu rasa aman masyarakat, apalagi ular berbisa. Mengendalikan alih fungsi lahan juga kan sulit, itulah kenapa saya menyebut fenomena ini dilematis,” kata Harniwan.
Sementara itu laju alih fungsi lahan pertanian di Kota Tasikmalaya setiap tahun terjadi dengan luas yang lumayan signifikan.
Dalam makalah berjudul “Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kota Tasikmalaya”, yang ditulis Euis Rotini dari Bapelitbangda Kota Tasikmalaya, disebutkan, dalam rentang tahun 2009 sampai 2021, telah terjadi alih fungsi lahan pertanian seluas 406 hektare.
Alih fungsi lahan pertanian terbesar terjadi pada tahun 2017, dimana lahan pertanian seluas 136 hektar berubah dalam waktu setahun.
Dalam makalah itu Euis Rotini merekomendasikan beberapa poin agar alih fungsi lahan bisa dikendalikan.
“Perlu adanya penyesuaian terhadap kebijakan dan strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian di wilayah Kota Tasikmalaya, termasuk pengendalian jumlah penduduk. Menetapkan bentuk insentif dan disinsentif tehadap pemilik tanah dan membentuk Komisi Pengendalian Konservasi Lahan Sawah di wilayah Pemerintah Kota Tasikmalaya,” tulis Euis Rotini.