Kasus pemerkosaan yang dilakukan Priguna Anugerah atau PAP (31) kepada seorang wanita yang sedang menunggu pasien di RSHS Bandung masih menjadi sorotan. Dokter residen anestesi dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad) itu sudah menjadi tersangka dan dijebloskan ke penjara.
Polisi menjerat Priguna dengan Pasal 6 huruf C Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pindana Kekerasan Seksual. Priguna pun diancam dengan hukuman maksimal 12 tahun kurungan penjara.
Saat berbincang dengan detikJabar, Kriminolog Universitas Islam Bandung (Unisba) Nandang Sambas menyatakan pidana untuk Priguna harus mendapat pemberatan 1/3 dari ancaman pidananya. Sebab, Priguna tergolong sebagai pelaku yang mengerti serta paham dunia kedokteran, dan seharusnya bisa melindungi pasien maupun keluarganya yang sedang menjalani perawatan.
“Karena ini dilakukan oleh orang yang mengerti, maka dalam teori hukum pidana sanksinya termasuk pemberatan 1/3 dari hukumannya,” kata Nandang Sambas saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (11/4/2025).
Nandang mengatakan, Priguna secara aturan pidana tak hanya melanggar Undang-undang TPKS tapi juga Pasal 285 KUHP yang mengatur tentang hukuman pemerkosaan. Bahkan, dia mendorong supaya penyidik kepolisian maupun kejaksaan supaya lebih cermat karena tindakan Priguna berpotensi melanggar Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
“Karena tadi itu, ada pemberatan karena dia sudah mempersiapkan tindakan kejahatannya. Dan mungkin kalau mau diperluas, itu bisa juga kaitannya dengan Undang-undang Kesehatan karena ini penggunaan obat-obatan di situnya,” ucap Nandang Sambas.
Tak hanya itu saja. Nandang bahkan menilai kasus itu bisa menyeret RSHS sebagai institusi di tempat Priguna sedang bekerja. Sebab menurutnya, RSHS sebagai korporasi, terbilang abai dalam pengawasan sehingga kasus ini bisa terjadi.
“Dan jangan-jangan juga, tapi ini enggak tahu yah, korporasinya juga perlu patut diduga diminta pertanggungjawaban secara administratif atau bagaimana. Apakah ini lingkupnya seharusnya bertanggungjawab, kalau ini perluasan (pidananya) yah,” tuturnya.
“Karena pertanggungjawaban itu bisa dikaitkan dengan personal atau corporate. Balaupun bukan atas nama, lebih ke personal, cuma kan fasilitasnya itu digunakan. Bisa jadi fungsi pengawasannya semacam ada dugaan kelalaian dari lembaga itu, kurang pengawasan. Sehingga pasien atau si keluarga pasien itu menjadi korban,” paparnya menambahkan.
Nandang pun mendorong supaya kasus ini bisa menjadi perhatian. Sebab dalam catatannya, berbagai macam kasus kekerasan seksual biasanya berakhir dengan hukuman ringan untuk pelakunya karena masalah bukti formal di pengadilan.
“Sering kali karena bukti formal tidak cukup kuat, akhirnya keyakinan hakim menjadi kurang. Akhirnya sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku seksual ini masih rendah, bahkan mungkin ada yang bebas,” katanya.
“Karena mungkin paradigma penegak hukum lebih kepada dogma formal, lebih melihat kepada bukti-bukti konkret. Yang tadi, ketika tidak ada bukti formal, seolah-olah tidak terjadi, padahal mencari kebenaran materil. Itu persoalan di penegakan hukum kita, karena ini bagaimana pun persoalan masa depan bagi seorang perempuan yang jadi korban,” pungkasnya.