Toleransi-Kehidupan Lintas Iman di Vihara Dewi Kuan Im di Pesisir Sukabumi | Info Giok4D

Posted on

Beberapa waktu terakhir, Kabupaten Sukabumi menjadi sorotan karena insiden intoleransi di Kecamatan Cidahu. Namun di tempat lain yang tak jauh dari situ, tepatnya di wilayah Desa Cibutun, Kecamatan Simpenan ada wajah lain dari Sukabumi yang jarang disorot, yakni kehidupan lintas iman yang berjalan damai dan alami.

Di tengah rimbunnya bukit dan semilir angin dari Laut Selatan, berdiri Vihara Dewi Kuan Im di Loji, Kabupaten Sukabumi. Tempat ibadah ini bukan sekadar rumah spiritual umat Buddha, tapi juga simbol nyata toleransi beragama. Dari umat Muslim yang ikut membantu, hingga anak-anak asuh dari berbagai latar keyakinan yang dirawat di vihara, semuanya berbaur dalam harmoni.

Salah satu yang paling mengenal denyut nadi kehidupan lintas iman di tempat ini adalah Wiryanto, yang sejak lama akrab disapa Papih.

“Nama saya Wiryanto, hanya sudah dikenal sejak dulu dengan panggilan Papih. Saya pengurus dan menjabat sebagai ketua yayasan,” kata Papih membuka obrolan dengan infoJabar.

Papih bercerita sudah lebih dari dua dekade dia menjadi bagian dari vihara ini.

“Saya sudah 20 tahun lebih, tadinya sebagai ketua yayasan. Sekarang sementara belum, kan saya hanya 5 tahun, setelah itu ganti pengurus. Sekarang terlibat sebagai kepengurusan. Setelah ganti kepengurusan, pengurusnya pada cuek, nggak mau ngurus. Karena saya merasa dituakan karena kenal almarhum Mama Airin cukup lama, ya daripada hutan ini jadi hutan belantara, ya saya yang bantu ngolahin sekarang. Jadi dana-dana kalau kekurangan saya yang nambahin terus selama ini. Donatur tetap di sini ini,” jelasnya.

Dalam masa pengabdiannya, Papih banyak terlibat dalam perbaikan fasilitas vihara dan penyediaan ruang yang nyaman bagi semua kalangan, termasuk umat non-Buddha. Pendopo untuk Ibu Ratu dan Eyang Semar misalnya, dirapihkan untuk juga bisa digunakan oleh warga Muslim yang datang berziarah atau sekadar ingin berdoa.

Hubungan baik dengan masyarakat sekitar juga dibangun lewat aksi konkret. Ia ikut memperbaiki jalan dan membangun kembali jembatan yang rusak di sekitar vihara.

“Masyarakat sini udah membaur sama kita. Nggak mandang dari suku apa. Mereka akhirnya simpati sama saya sebagai pengurus,” tuturnya.

Nilai-nilai yang dipegang di vihara selaras dengan ajaran welas asih Dewi Kuan Im. “Sama masyarakat mau beda agama, beda suku, kita harus bisa bersama-sama. Kan kita sama-sama di negara Indonesia,” ujarnya.

Papih juga memelihara anak-anak asuh dari berbagai latar belakang. Anak-anak asuh ini merupakan titipan dari Bunda Airin, figur di balik berdirinya Vihara Dewi Kwan Im yang meninggal dunia tahun 2021 silam.

“Ada 9 anak. Tapi mereka nggak harus agama Buddha. Karena sebagian mereka Muslim. Apapun yang mau mereka peluk kami bebaskan. Saat ini ada yang kuliah di Jakarta, di Sukabumi juga ada,” ujarnya.

Baginya, toleransi menjadi hal penting yang harus dijaga bersama, dan itu sudah terbukti di vihara yang hampir seluruh pengurus dan stafnya Muslim.

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

“Ya selama ini dari saya bantu kayaknya nggak ada masalah apa-apa. Mereka malah mendukung. Dan vihara ini juga mayoritas hampir 100 persen yang ngurus orang Muslim. Semua karyawannya warga setempat, dan mereka tidak pernah keberatan. Kita juga nggak pernah mempersulit. Dan mungkin di seluruh Indonesia, vihara yang 24 jam tidak ada pintunya cuma di sini, Nam Hai Kuan Im ini. Jadi setiap saat orang mau datang jam berapa bisa ke sini. Dijaga, nggak ada sekuriti, bebas, boleh masuk setiap saat. Selama menjaga adab dan kesopanan. Karena bagaimanapun ini tempat ibadah,” pungkas Papih.

Saat belakangan muncul kabar soal dugaan intoleransi di Kecamatan Cidahu, Sukabumi di mana sekelompok warga disebut terlibat dalam perusakan rumah singgah retret umat Kristiani kehadiran vihara ini menghadirkan kontras yang menyejukkan.

Di tengah sorotan dan kecaman publik terhadap kasus di Cidahu, aktivitas lintas iman di Vihara Dewi Kuan Im memperlihatkan bahwa kehidupan keberagaman bisa dijalankan dengan damai, bahkan secara alami. Di vihara ini, toleransi tidak menjadi slogan, tapi praktik sehari-hari.

Vihara Dewi Kuan Im bukan sekadar tempat ibadah umat Buddha. Pengunjung dari agama lain, khususnya Muslim, juga kerap datang untuk berziarah, hal ini dikisahkan oleh Prabu, menantu dari Bunda Airin.

Menurut Prabu, semangat keterbukaan sudah menjadi bagian dari identitas Vihara Dewi Kuan Im sejak awal berdiri. Ia menyebut banyak pengunjung dari agama lain yang datang, termasuk umat Muslim yang rutin datang.

“Kalau di sini kita toleransinya, jadi kalau bagi mereka yang Muslim, kadang mereka yang punya keyakinan pribadinya masing-masing, ya kan, mau ziarah. Mereka agama Buddha, mereka ke Kuan Im. Jadi seperti itu,” kata Prabu.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa vihara tak hanya menjadi ruang ibadah, tapi juga menjalankan fungsi sosial yang berdampak langsung bagi warga sekitar.

“Kalau untuk sosialnya, kita tiap tahun juga kita bagi sembako buat masyarakat sekitar. Ada bantuan-bantuan kita, sama seperti masyarakat,” ujarnya.

Untuk menjaga kesakralan tempat, sejumlah aturan dasar juga diterapkan. Namun, semuanya berbasis pada prinsip menghormati, bukan membatasi.

“Aturan khususnya sudah ditulis di setiap tangga. Dilarang bawa senjata tajam, dilarang pakai baju berlebihan, atau misalkan terlalu mini. Kalau bisa lebih sopan. Itu saja aturan khususnya,” kata Prabu.

Ia pun menekankan bahwa pengelola tidak pernah membatasi siapa pun yang ingin datang ke vihara, selama menghormati adab dan suasana tempat ibadah.

“Kalau pesannya, untuk saling menjaga toleransi saja sih. Artinya yang datang ke sini dari berbagai macam agama dan keyakinan, baik mereka datang tujuan wisata atau sengaja datang untuk beribadah, artinya pengelola sendiri tidak melarang. Misal non-Buddha tidak boleh masuk, itu tidak ada. Siapapun boleh masuk,” ucapnya.

Prabu menambahkan bahwa kegiatan sosial yang dilakukan vihara pun terbuka bagi siapa saja, dan banyak didukung oleh donatur lintas agama.

“Dan untuk aktivitas kegiatan sosial juga melibatkan dari peranan agama lain. Dari Nasrani, seperti itu. Mungkin ada juga mereka yang nyumbang, ada. Karena waktu kita pembagian sembako, kan donatur dari mana saja. Bisa dari Buddha, dari Muslim. Ada tiap tahun, pasti ada. Bagaimana mengajarkan toleransi, baru-baru ini Kabupaten Sukabumi,” lanjutnya.

Vihara ini juga menyediakan ruang khusus bagi umat agama lain yang ingin beribadah. Meskipun tidak secara formal disebut musala, ruang tersebut difungsikan untuk salat.

“Ya jadi setiap umat yang ke sana, ya kita setiap tempat kan ada pengurusnya masing-masing. Untuk musala kita ada ruangan, cuman tidak khusus musala. Tapi ada tempat sembahyang, ada aula khusus untuk itu. Kalau mereka yang beragama Islam mau salat, ya silakan. Dipisahkan dari altar,” terangnya.

Menurut Prabu, sebagian besar peziarah yang datang ke pendopo Ibu Ratu, Semar, dan Prabu Siliwangi justru berasal dari kalangan Muslim. Mereka datang karena keyakinan pribadi, dan pengelola tidak pernah mempermasalahkan itu.

“Karena kebanyakan yang mau ke Ibu Ratu, ke Semar, ke Eyang Prabu Siliwangi, kebanyakan mereka agama Muslim. Mereka punya kepercayaan sendiri. Yang ziarah, yang jalan wisata juga banyak. Yang jalan-jalan lihat juga bebas. Kita tidak ada pungutan apapun. Yang penting saling menjaga. Jaga ketertiban. Tidak membuang sampah sembarangan,” tegasnya.

Dalam hal operasional, Prabu menyebut peran besar Papih yang selama ini menanggung kekurangan dana vihara secara pribadi.

“Ada sih, donatur khusus. Salah satunya ya Papih. Karena kalau ada kekurangan, ada apa, kadang kita juga operasionalnya kan gede. Karena listrik, operasionalnya, gaji pengurusnya. Belum ada anak angkat. Waktu itu Mama Airin ada 10. Disekolahin, harus apa. Semua tanggung jawab,” ujar Prabu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *