Tradisi Pembacaan Babad Cirebon di Keraton Kanoman

Posted on

Suasana khidmat menyelimuti Bangsal Prabayaksa, Keraton Kanoman saat tradisi pembacaan Babad Cirebon digelar pada Jumat (27/6/2025) malam. Empat lilin besar menyala terang di tengah ruangan. Sejumlah tokoh keraton duduk bersila mengenakan gamis dan busana adat khas keraton.

Dengan khusyuk, salah satu dari mereka kemudian membacakan sebuah naskah yang mengisahkan tentang sejarah berdirinya daerah berjuluk Kota Udang. Di luar bangsal, sejumlah warga berkumpul. Mereka duduk bersila sembari menyimak prosesi pembacaan Babad Cirebon melalui pengeras suara.

Juru bicara Keraton Kanoman, Ratu Raja Arimbi Nurtina, mengatakan pembacaan Babad Cirebon ini merupakan sebuah tradisi yang telah berlangsung secara turun temurun. Tradisi ini menjadi bagian penting dalam peringatan hari jadi Cirebon yang rutin dilaksanakan setiap 1 Muharram. Tahun ini, Cirebon genap berusia 598 tahun.

“Tradisi ini sudah dilakukan kurang lebih sejak tahun 1529 M bahkan mungkin bisa sebelum tahun tersebut,” kata dia.

Tahun ini, pembacaan babad Cirebon diawali dengan tawasul yang dilaksanakan pada hari yang sama di Bangsal Witana, pukul 15.30 WIB atau ba’da Ashar. “Ini menjadi penanda bahwa Kesultanan Kanoman tidak hanya sebagai pusat pemerintahan pada masanya, tapi juga titik awal lahirnya Cirebon dari pedukuhan kecil kemudian berkembang menjadi sebuah pemerintahan yang besar,” kata Arimbi.

Sebagai pewaris tradisi, Arimbi mengatakan hingga kini Kesultanan Kanoman masih konsisten merawat tradisi ini. Pembacaan Babad Cirebon merupakan tradisi yang mengisahkan asal-usul berdirinya Cirebon, yang bermula dari wilayah Lemahwungkuk

Arimbi menerangkan, pada mulanya Lemahwungkuk merupakan sebuah wilayah yang masih sepi dan hanya dihuni oleh segelintir orang. Wilayah ini mulai ramai setelah Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi, membabad alas Kebon Pesisir bersama Ki Danusela.

Mereka membabad alas dengan menggunakan Golok Cabang pemberian dari Pendeta Buda Parwa bernama Sanghyang Naga dari Gunung Siangkup. “Cirebon dibuka sebagai pedukuhan oleh Ki Danusela pada Minggu Kliwon tepatnya pada 1 Suro 1367 Saka/866 Hijriah/1445 Masehi bersama Pangeran Walangsungsang/Cakrabuwana membabad alas pada umur 22 tahun (Babakyaksa Sajarah) dengan membangun pemerintahan Pakuwuan dan mengangkat Ki Danusela sebagai Kuwu pertamanya bergelar Ki Gede Alang-Alang atas perintah Syaikh Datuk Kahfi,” tutur Arimbi.

Titik awal dari babad alas itu adalah wilayah Witana yang sekarang berada di belakang Bangsal Mande Mastaka, tempat bertahtanya Sultan Kanoman. Nama Witana sendiri berasal dari kata wi yang berarti pembuka, dan tana yang berarti tanah. Dengan demikian, Witana dimaknai sebagai ‘Tanah Pembuka’.

“Dari situlah kemudian Kesultanan Kanoman berkeyakinan bahwa Cirebon kini telah berusia 598 tahun, merujuk pada Babakyaksa Sajarah Pakuwuan Caruban yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuwana dan Ki Danusela yang mana setiap tahunnya pada malam satu Muharram (Sura) selalu diadakan Pembacaan Babad Cirebon di Keraton Kanoman Cirebon,” kata Arimbi.

Tradisi pembacaan Babad Cirebon di Keraton Kanoman ini turut dihadiri oleh Wali Kota Cirebon, Effendi Edo dan beberapa pejabat daerah lainnya. Dalam sambutannya, Edo mengatakan tradisi pembacaan Babad Cirebon ini merupakan momen penting untuk mengingat kembali sejarah berdirinya Cirebon yang kini berusia 598 tahun.

“Sebagaimana kita ketahui bahwa pembacaan Babad Cirebon telah menjadi tradisi yang rutin diadakan Keraton Kanoman Cirebon setiap tahun. Tradisi ini digelar untuk mengulas kembali sejarah berdirinya Cirebon pada masa lalu,” kata Edo.

“Melalui pelaksanaan tradisi ini, kita tentu saja diingatkan dan diedukasi agar selalu mengingat asal usul dari daerah yang kita cintai ini,” kata dia menambahkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *