Risiko HIV Sasar Remaja Sukabumi, Cibadak Paling Terdampak

Posted on

Jumlah kasus HIV di Kabupaten Sukabumi menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Data dari Dinas Kesehatan menyebutkan, sepanjang 2024 ditemukan 335 kasus baru HIV. Sementara itu dalam lima bulan pertama 2025, terjadi penambahan 96 kasus yang tersebar di sejumlah kecamatan. Yang mengemuka, sebagian besar kasus terjadi pada kelompok usia produktif, namun usia muda mulai menyusul secara signifikan.

Angka-angka tersebut merujuk pada data yang dihimpun dari layanan kesehatan di wilayah Sukabumi dan diinput ke dalam aplikasi SIHA (Sistem Informasi HIV-AIDS dan IMS). Data ditarik resmi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi pada 25 Juni 2025 pukul 10.20 WIB.

Dalam data tersebut, Kecamatan Cibadak menempati urutan teratas dengan 95 kasus HIV sepanjang 2024, disusul Palabuhanratu (61 kasus), Jampangkulon (40 kasus), Cicurug (35 kasus), dan Sukaraja (33 kasus).

“Data ini adalah hasil input dari layanan kesehatan di seluruh kecamatan. Ini mencerminkan wilayah mana saja yang aktif melakukan pemeriksaan dan mana yang memang menjadi kantong risiko,” ujar Danny Eka Irawan, Ketua Tim P2M pada Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, Jumat (27/6/2025).

Secara demografis, kelompok usia 25-49 tahun masih mendominasi temuan HIV, yakni 66,6 persen dari total kasus tahun 2024, dan naik menjadi 67,9 persen di 2025. Namun yang mencolok, kelompok usia 15-24 tahun kini mulai terlihat signifikan.

Jika dihitung berdasarkan distribusi usia, kelompok remaja dan dewasa muda itu menyumbang hampir 30 persen dari temuan kasus baru sepanjang awal 2025. Kendati data berdasarkan usia tidak selalu sejajar dengan lokasi kecamatan, proporsi ini menunjukkan perubahan pola penyebaran.

“Kurangnya peran keluarga, dalam hal ini orang tua, karena masih tabu membicarakan edukasi seksual jadi salah satu penyebab. Ditambah faktor lingkungan dan pengalaman kekerasan seksual yang tidak tertangani,” ujar Danny.

Danny menyebutkan, kecamatan-kecamatan dengan angka kasus tinggi umumnya memiliki dua karakteristik yakni keberadaan populasi kunci dan mobilitas sosial yang tinggi. Populasi kunci meliputi kelompok LSL (lelaki seks lelaki), WPS (wanita pekerja seks), dan waria.

“Cibadak misalnya, merupakan wilayah padat yang menjadi jalur lintasan utama. Di sana kami mendeteksi banyak kasus dari kelompok LSL dan WPS,” tuturnya.

Sementara itu, Palabuhanratu sebagai daerah wisata juga mencatat angka tinggi karena tingginya arus masuk pendatang dan kompleksitas struktur sosialnya. Di sisi lain, beberapa kecamatan dengan kasus rendah bukan berarti bebas HIV. Bisa jadi karena minimnya deteksi atau belum teridentifikasinya populasi kunci.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, Agus Sanusi, menyebutkan bahwa hingga pertengahan 2025, terdapat 26 layanan VCT (Voluntary Counseling and Testing) aktif di wilayahnya. Selain layanan tetap, pihaknya juga menjalankan program mobile clinic ke sekolah, pesantren, dan komunitas kerja.

“Kami melihat tingginya angka juga sebagai keberhasilan layanan. Tapi ini juga alarm. Bahwa HIV masih menyebar dan masyarakat masih banyak yang tidak tahu statusnya,” kata Agus.

Ia menambahkan, penanggulangan HIV harus melibatkan banyak pihak. “Masalah HIV ini bukan hanya urusan Dinkes. Sosialisasi harus menjadi program bersama. Orang tua, sekolah, pesantren, semua harus terlibat,” tegasnya.

Dinkes Sukabumi juga tengah memperkuat kerja sama dengan Global Fund untuk memperluas deteksi dan pengobatan HIV. Salah satu pendekatannya adalah triple 95 yakni 95 persen orang tahu status HIV-nya, 95 persen dari mereka terhubung ke layanan, dan 95 persen berhasil menekan viral load-nya.

Sementara untuk mencegah penularan dari ibu ke anak, Dinkes juga menjalankan program triple eliminasi (HIV, sifilis, dan hepatitis) yang menyasar seluruh ibu hamil di wilayah Sukabumi.

Remaja Mulai Masuk Kelompok Risiko

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *