Nomor-nomor asing terus menghantui ponselnya. Suaranya kadang sopan, kadang membentak. “Kapan bayar? Kalau tidak, kami dapat ke rumah, ke kantor, ke keluarga.”
Begitulah, setiap hari terjadi berkali-kali. Sampai-sampai YS, warga Palabuhanratu yang akrab disapa Mali, harus mengganti nomor. Bukan sekali dua. Tapi lima kali, hanya dalam satu tahun.
Kisah ini terjadi tahun 2019 silam. Saat itu, listrik di rumah Mali nyaris padam. Anak bungsunya menangis karena kehabisan susu. Dalam panik, Mali (34) memutuskan meminjam dari salah satu aplikasi pinjaman online. Nilainya tak besar hanya Rp700 ribu. Tapi yang cair hanya Rp550 ribu, sisanya dipotong biaya admin.
Saat belum bisa membayar tepat waktu, muncul tawaran dari aplikasi lain yakni “refinancing”. Kala itu Mali terima, tanpa banyak pikir, satu utang ia tutup dengan utang lain. Begitu terus, hingga tak sadar nama dan identitasnya terdaftar di tujuh aplikasi pinjol.
“Saya kira cukup tutup bulan itu. Tapi malah jadi gali lubang terus,” katanya seraya menjelaskan total tagihan membengkak jadi belasan juta rupiah.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Mali tinggal di dekat kawasan perumahan, padat penduduk, di belakang jalan utama yang dipenuhi wisatawan menuju salah satu pantai wisata.
Rumah Mali masuk lagi ke dalam gang yang hanya cukup dilewati satu motor, dengan dinding rumah yang berlumut, atap asbes bergelombang, dan kabel-kabel listrik menjuntai rendah.
Suara ombak kadang terdengar samar saat malam. Tapi sunyi itu bisa pecah jika ada satu motor asing berhenti. “Gangnya buntu, jadi kalau ada motor asing berhenti, semua orang langsung nengok. Saya malu luar biasa,” ucap Mali.
Ketika debt collector datang, suara bentakan mudah sekali terdengar tetangga. Tapi biasanya, ancaman digital datang lebih dulu. Puluhan SMS, panggilan, dan pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal. Ancaman makin nyata saat dua pria tak dikenal datang ke rumah.
“Waktu itu mereka datang naik motor. Salah satu dari mereka pakai jaket dan helm hitam, satu lagi megang map. Mereka tanya, ‘Ini rumahnya Mali?’ Saya ngintip dari dalam, langsung ngumpet ke kamar belakang,” kata Mali.
Istrinya, yang tengah menggendong anak bungsu mereka, mencoba menghadapi mereka. “Saya bilang suami saya nggak ada. Tapi mereka malah ngomel, nadanya kasar,” ujar sang istri menimpali.
“Saya sampai nangis waktu itu. Takut, anak juga jadi rewel,” imbuhnya.
“Mereka bilang, ‘Bilang sama dia, kalau nggak mau bayar baik-baik, kita tahu harus ke mana.’ Nada suara mereka keras, atau mungkin sengaja dikeraskan supaya tetangga dengar,” kenang Mal yang mengaku kala itu menahan malu.
Malam itu, Mali mematikan ponsel dan minta sepupunya menjemput anak-anak. Ia mengungsi ke rumah temannya di pesisir, tak jauh dari kawasan Citepus.
“Saya tidur di lantai, HP dimatikan. Saya tahu saya salah pinjam. Tapi caranya mereka nagih itu kayak saya maling,” ucapnya.
Teror berlanjut. Akun media sosial Mali diserbu, namanya disebut di grup-grup lokal. Salah satu penagih bahkan datang kembali dan berbicara keras di depan rumah, seolah sengaja ingin mempermalukan.
“Dia bilang begini, ‘Utangnya nggak dibayar-bayar, nanti kita tagih di jalan juga bisa!’ Saya langsung drop. Malu banget,” katanya.
“Saya nggak tahu harus cerita ke siapa. Dengar motor berhenti depan rumah aja saya deg-degan. Sampai sempat mikir, apa kami pindah saja dari sini,” ujarnya lirih.
Skor kredit Mali hancur, ia tak bisa lagi mengajukan pinjaman resmi, bahkan untuk kredit motor. Aplikasinya selalu ditolak.
“Saya cuma pengin hidup normal. Bisa kerja, bisa beli sesuatu dengan nama saya sendiri. Tapi saat itu kayak jadi kriminal padahal cuma korban sistem,” ujarnya.
Setelah hampir setahun hidup dalam tekanan, Mali memutuskan melawan. Bukan dengan marah-marah, tapi dengan mendata.
Ia tulis semua aplikasi pinjol di buku, lalu pisahkan mana yang legal dan mana yang tak terdaftar di OJK. Yang ilegal ia abaikan meski tetap dokumentasikan ancamannya. Untuk yang legal, ia mulai telepon satu per satu, minta skema cicilan.
“Saya jualan dibantu teman jadi semacam jastip (jasa titip). Pakai akun media sosial, saya pakai nama anak, pakai logo produk-produk, kebanyakan dari Korea dan negara lain. Hasilnya saya kumpulkan lumayan. Cukup buat nyicil sedikit-sedikit ke beberapa aplikasi,” katanya.
Ia juga dibantu tokoh agama di kampungnya, yang memberinya pinjaman tanpa bunga.
“Butuh waktu hampir delapan bulan. Tapi alhamdulillah sekarang semua utang sudah lunas,” ujarnya, suaranya mulai lega.
Nomor ponselnya kini tak perlu diganti-ganti. Mali bisa menyapa tetangga tanpa rasa takut. Ia belum bisa mengajukan kredit ke bank, karena nama masih masuk daftar SLIK. Tapi setidaknya, tidak ada lagi yang mengetuk pintu sambil mengancam.
“Saya belajar. Jangan pernah pinjam dari tempat yang tak jelas. Kalau butuh, bicara ke keluarga, bukan ke aplikasi,” kata Mali, menutup pembicaraan.
Media Sosial Mali Diserbu
Cara Mali Lepas dari Jeratan Pinjol
