Demam SDSB: Kumpulan Kisah Warga Kehilangan Akal Sehat

Posted on

Istilah SDSB mungkin terdengar asing di telinga orang-orang saat ini. SDSB yang merupakan kependekan dari Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah ini sangat tenar, dan kerap jadi perbincangan baik di kota maupun desa sekitar tahun 1990-an.

Kala itu warga mengalami demam SDSB, atau yang kemudian dikenal juga dengan istilah Porkas. Mereka berbondong-bondong mendatangi agen, untuk membeli nomor undian, yang jika nomornya tepat maka akan diberikan hadiah yang menggiurkan.

Undian Porkas dan SDSB ini menghilang seiring dengan jatuhnya Soeharto pada 1999 silam. Enam tahun kemudian sempat muncul akan diterbitkannya undian serupa, tapi dengan nama Kartu Pos Olahraga (KPO) yang dikelola PT Prima Selaras pada 2005. Tapi ide itu tenggelam.

Menteri Sosial saat itu, Bachtiar Chamsyah, menolak untuk memberikan izin undian berhadiah itu. Terlebih kala itu muncul gelombang penolakan dari mahasiswa dan ormas keagamaan yang menyatakan jika kupon berhadiah itu haram hukumnya karena bernuansa perjudian.

Di balik SDSB yang fenomenal, terselip kisah-kisah di luar nalar yang dilakukan warga untuk mendapatkan nomor hoki. Begini deretan kisahnya.

Fajar Hidayat (54), pria asal Buahbatu, Kota Bandung mengaku sempat merasakan betapa booming-nya SDSB di tahun 1991-1993 dulu. Waktu itu, Fajar masih duduk di bangku SMA.

“Pernah nyobain tapi ngawur yah itu,” kata Fajar sembari tertawa saat berbincang dengan infoJabar belum lama ini.

Pria yang akrab disapa Pade ini ingat betul jika SDSB membuat orang berpikir logis dan tak logis. Sebab kata dia, ada orang yang dengan serius menghitung rumus untuk menentukan angka yang kemudian dipasang pada agen SDSB.

“Itu ada yang dibikin logis maksudnya dihitung secara rumus matematika, aku gak ngerti ya soal itu. Pokoknya pakai data pakai rumus gitulah, ada orang yang bisa ngitung,” ungkapnya.

Ada juga orang-orang yang berperilaku tidak logis karena SDSB. Menurut Pade, orang-orang mencari nomor dengan duduk di pinggir jalan hingga bermalam di kuburan. Dia sendiri tidak mengerti apa sebenarnya yang dilakukan para penikmat SDSB ini.

“Ada yang gak logis, dulu itu banyak, maksudnya dia duduk di pinggir jalan tiba-tiba lihat (pelat) nomor mobil motor terus pasang, terus nyari wangsit istilahnya ke kuburan kemana gitu ya minta nomor gitu,” ucapnya.

Lain halnya dengan Dede S, warga Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi. Ia menceritakan soal perburuan kodok, saat itu ramai disebut punggung kodok bila dikerok bisa memperlihatkan beberapa angka. Namun syaratnya kodok itu harus didapatkan di lokasi tertentu dan tengah malam.

“Rela basah-basahan nunggu kodok, begitu kodoknya keluar saya tangkap. Lalu saya kerok pakai kayu atau sendok, nanti disorot pakai senter, nah kalau yang ini saya pernah tembus tiga angka,” kenangnya.

Dede mengaku menyesal bermain nomor lotre, namun menurutnya hal itu saat ini hanyalah kenangan yang mungkin tidak akan diulang. Buku-buku mimpi yang ia koleksi dahulu sudah ia bakar dan buang.

“Ya kalau dipikir sekarang jadi kayak orang gila, jadi semacam candu yang menjual penasaran karena diberi harapan. Itu kan rumusan judi, kalah menang tetap jadi penasaran, saukur nyieun bandarna beunghar (hanya membuat bandarnya kaya),” pungkas dia.

Heri Suherman (62) warga Cijulang, Pangandaran memutar kembali ingatan saat dirinya rela mengorbankan emas simpanan bersama istri untuk memainkan Porkas.

“Pokoknya emas 10 gram itu taruhan terbesar saya saat main Porkas atau SDSB. Waktu itu juga istri mengizinkan,” kata Heri kepada infoJabar.

Menurutnya harga emas waktu itu sangat terbilang murah sekitar tahun 1980 an itu 10 gram hanya laku Rp 12 ribu. “Mun ayeuna (kalau sekarang) mah mereun Rp 12 juta,” ucapnya.

Ia mengatakan saat itu nekat untuk menjual emas karena percaya jika beli kupon di Gombong, Jawa Tengah, marak penjualan kupon hoki.

“Gombong dulu sangat terkenal dengan penjual kupon Porkas yang hoki bahkan terkenal dengan bandarnya di sana,” ucap Heri.

Untuk berangkat ke Gombong, Heri harus menempuh perjalanan menggunakan bus umum. “Perjalan dimulai dari terminal Pangandaran menuju Purwokerto, terus bus lanjutan ke Wangon hingga Gombong,” katanya.

Namun upaya Heri untuk mendapatkan nomor hoki berakhir tak sesuai harapan. Nomor yang diumumkan melalui siaran televisi, hanya berbeda satu angka dari deretan nomor yang ia beli.

“Waktu diumumkan angka terakhir ternyata yang keluar itu 101. Heneug lah, padahal tawaran terakhir saat itu 101. Tapi saya kekeuh,” ucapnya.

Heri mengatakan setelah pengumuman itu berakhir dan terakhir pula janji tidak main lagi Porkas.

“Selama 6 bulan kan saya berkecimpung, dan saat itu juga saya tidak ikutan lagi main Porkas, bahkan sampai berganti nama dengan jenis judi yang lainnya,” ucap Heri.

Masih ingat di benak Jopita Mailana (44), warga Kecamatan Babakan Ciparay ini mengisahkan di kalangan para pemasang judi lotre di wilayah Bandung Selatan pasti mengetahui cerita penjual bajigur yang membuang gerobaknya ke sungai sebagai bentuk kebahagiaan karena enam digit nomor yang dipasangnya tembus.

Menurut Jopita, penjual bajigur itu bakal dapat hadiah sekitar Rp 500 jutaan. Namun nahas, saat kupon judi lotre akan dicairkan, kupon itu ada di dalam laci gerobak dagangannya yang dibuang ke aliran Sungai Citarum.

“Tapi ada cerita dulu yang menang Porkas penjual bajigur, dia masang tembus enam angka, dengar di radio benar, senang, dilempar gerobak bajigurnya ke Sungai Citarum, dilempar tuh bahagia menang,” kata Jopita kepada infoJabar, belum lama ini.

Jopita menyebut, informasinya penjual bajigur itu sampai gila, karena hadiah Porkas yang seharusnya didapatkannya tidak menjadi miliknya.

“Pas mau nukerin, lupa kuponnya di laci gerobak, sampailah dia gila, pasti orang tua dulu pasti tahu cerita itu. Lokasi lupa lagi, tapi yang saya ingat gerobaknya dilempar,” katanya.

Cari Nomor Sampai Bermalam di Kuburan

Kerok Punggung Kodok

Korbankan Emas Simpanan Istri hingga ke Jateng Cari Nomor

Girangnya Tukang Batagor Berakhir Sial

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *