Bahasa Sunda punya tingkatan tutur yang disebut ‘undak-usuk’. Undak-usuk Basa Sunda ini menjadi aturan dalam pemilihan kosakata menyesuaikan dengan siapa kita berbicara.
Jika bicara dengan orang tua, tentu bahasa yang dipakai adalah yang bernuansa halus. Jika berbicara dengan teman sebaya, diksi yang digunakan boleh yang ‘loma’ atau akrab. Dengan orang yang usianya di bawah, boleh jadi kita berbicara dengan kosakata yang kasar.
Berbicara dengan mereka yang punya ‘kalungguhan’ (pangkat, jabatan, dan kekayaan), bagi orang Sunda haruslah dengan menggunakan kata-kata yang halus. Ini mungkin terbawa dari masa feodalisme yang pernah menghinggapi alam Sunda.
Bagaimana contoh perbedaan bahasa Sunda kasar dan halus? Simak artikel ini yuk!
Pada mulanya, sebagaimana diungkap dalam buku Polemik Undak-Usuk Basa Sunda (PT Mangle Panglipur, 1987) terungkap sebagian ahli menyatakan unda-usuk itu untuk membedakan tingkatan sosial masyarakat.
Seseorang harus bicara dengan halus kepada orang berada, anak-anak orang berada, kepada pejabat, anak pejabat, anak lurah, kepada lurahnya sendiri, dan lain sebagainya.
Dengan ini, kebalikannya. Bahwa kepada orang yang status sosialnya rendah, seperti pemulung sampah, buruh tani, buruh kerja kasar, dan lain sebagainya, orang ‘boleh’ berbicara kasar.
Sastrawan Ajip Rosidi dalam buku itu berpendapat bahwa bahasa Sunda tidak perlu lagi terikat dengan undak-usuk basa. Sebab, keluhuran budi masyarakat Sunda tidak melulu harus diucapkan melalui bahasa yang berkasta.
Walakin, undak-usuk terlanjur melekat dalam benak orang Sunda. Dan hingga kini, undak-usuk masih digunakan dan masih diajarkan di sekolah-sekolah.
Cendekiawan Sunda, Daeng Kanduruan Ardiwinata atau dikenal sebagai D.K. Ardiwinata menulis buku berjudul ‘Elmoening Basa Sunda’ dalam bahasa Belanda yang kemudian diterjemahkan ke dalam Indonesia oleh Ayatrohaedi, menjadi ‘Tata Bahasa Sunda’, diterbitkan Balai Pustaka (1984). Di dalam buku itu, dijelaskan tingkatan tutur halus hingga bahasa kasar.
Bahasa lemes (halus) dipakai oleh sesama bangsawan, atau oleh orang kebanyakan kepada bangsawan.
“Bahasa itu pada mulanya tidak terlalu banyak, bahkan di jaman yang telah lama silam tidak ada sama sekali. Akhir-akhir ini sajalah kosakata lemes bertambah, akibat munculnya kata-kata lemes ciptaan baru,” tulis Ardiwinata.
Basa songong (bahasa kasar) adalah yang digunakan oleh orang kebanyakan kepada sesama mereka, atau oleh bangsawan kepada orang kebanyakan.
D.K. Ardiwinata membagi basa lemes (bahasa halus) ke dalam beberapa bagian, yang dibedakan dalam segi penempatannya, apakah untuk orang lain atau untuk diri sendiri. Contoh kata Rawuh; Sumping; Dongkap, yang semuanya berarti ‘datang’.
Basa luhur atau bahasa yang sangat halus, biasanya digunakan oleh rakyat kebanyakan kepada para pengagung. Menurut Ardiwinata, bentuk luhur (lemes pisan) dipergunakan untuk kalangan yang amat dihormati, misalnya raja, residen, dan bupati.
Contoh kalimat: Pangawulaan bade rawuh ka dieu’ artinya Bupati akan berkunjung kemari.
Basa lemes biasa atau bentuk halus biasa dipergunakan untuk kalangan yang lebih rendah daripada bupati, namun masih dari kalangan pengagung.
Contoh kalimat: Juragan Wadana bade sumping ka dieu yang artinya Bapak Wedana akan datang ke mari.
Basa lemes ka sorangan atau bentuk halus untuk diri sendiri dipergunakan untuk diri sendiri (pembicara), namun dalam konteks menghormati lawan bicara yang adalah pengangung.
Contoh kalimat: Abdi nembe dongkap artinya saya baru datang.
Contoh-contoh perbedaan bahasa Sunda kasar (loma/songong) dan halus (lemes) ini dikutip dari buku berjudul ‘Peperenian: Kandaga, Unak-anik, Rusiah Basa Sunda’ susunan Drs. Ahmad Hadi, dkk. (1991):
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Dalam Bahasa Sunda, penggunaan kata sangat bergantung pada lawan bicara. Ada kata-kata kasar atau lom (digunakan dengan teman sebaya atau orang yang lebih muda), serta kata-kata halus yang terbagi menjadi dua, yaitu:
Berikut contoh perbedaan kosakata tersebut:
1. Masuk
Kasar: Abus, Asup
Halus (diri sendiri): Lebet
Halus (untuk orang lain): Lebet
2. Belum
Kasar: Acan, Tacan, Encan
Halus (diri sendiri): Teu acan
Halus (untuk orang lain): Teu acan
3. Adik
Kasar: Adi
Halus (diri sendiri): Adi
Halus (untuk orang lain): Rai, Rayi
4. Mengadu
Kasar: Adu
Halus (diri sendiri): Adu
Halus (untuk orang lain): Aben
5. Gendong
Kasar: Ais
Halus (diri sendiri): Ais
Halus (untuk orang lain): Emban
6. Untuk
Kasar: Ajang, Keur, Pikeun
Halus (diri sendiri): Kanggo
Halus (untuk orang lain): Haturan
7. Mengajar
Kasar: Aiar
Halus (diri sendiri): Ajar
Halus (untuk orang lain): Wulang, Wuruk
8. Mengaji
Kasar: Aji, Ngaji
Halus (diri sendiri): Ngaji
Halus (untuk orang lain): Ngaos
9. Kakak laki-laki
Kasar: Akang
Halus (diri sendiri): Akang
Halus (untuk orang lain): Engkang
10. Kakek
Kasar: Aki
Halus (diri sendiri): Pun aki
Halus (untuk orang lain): Tuang eyang
11. Mengakui / menyambut
Kasar: Aku, Ngaku
Halus (diri sendiri): Aku, Ngaku
Halus (untuk orang lain): Angken, Ngangken
12. Cincin
Kasar: Ali
Halus (diri sendiri): Cingcin
Halus (untuk orang lain): Lelepen
13. Keponakan
Kasar: Alo
Halus (diri sendiri): Pun alo
Halus (untuk orang lain): Kapiputra
14 Bagus
Kasar: Alus
Halus (diri sendiri): Sae
Halus (untuk orang lain): Sae
15. Supaya
Kasar: Ambeh, Sangkan
Halus (diri sendiri): Supados
Halus (untuk orang lain): Supados
16. Marah
Kasar: Ambek
Halus (diri sendiri): Ambek
Halus (untuk orang lain): Bendu, Wera
17. Menghirup
Kasar: Ambeu, Ngambeu
Halus (diri sendiri): Ngambeu
Halus (untuk orang lain): Ngambung
18. Permisi
Kasar: Amit, Amitan
Halus (diri sendiri): Permios
Halus (untuk orang lain): Permios
19. Anak
Kasar: Anak
Halus (diri sendiri): Pun anak
Halus (untuk orang lain): Putra, Tuang puira
20. Bantal
Kasar: Anggel
Halus (diri sendiri): Bantal
Halus (untuk orang lain): Bantal, Kajang mastaka
21. Sudah
Kasar: Anggeus, Enggeus
Halus (diri sendiri): Rengse
Halus (untuk orang lain): Parantos