8 Fakta Donasi Rp.1000/Hari ala Dedi Mulyadi Menuai Kritik Pedas

Posted on

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, membuat gebrakan baru dengan meluncurkan Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu). Surat Edaran (SE) yang ditandatangani sejak 1 Oktober 2025 ini mengajak seluruh ASN, siswa sekolah, dan masyarakat untuk berdonasi sebesar Rp1.000 per hari. Dana yang terkumpul akan digunakan untuk mendukung pendidikan dan kesehatan masyarakat di Jawa Barat.

Berikut 8 fakta dalam kejadian ini:

Gerakan ini merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, yang menekankan pentingnya peran masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan melalui nilai luhur budaya, kesetiakawanan sosial, dan kearifan lokal.

Dalam Surat Edaran tersebut tertulis bahwa program ini berbasis gotong royong dan kearifan lokal berupa prinsip silih asah, silih asih, dan silih asuh. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesetiakawanan sosial sekaligus memperkuat pemenuhan hak dasar masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan, khususnya bagi mereka yang masih menghadapi keterbatasan anggaran dan akses.

“Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat menginisiasi program partisipatif Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) yang berlandaskan gotong royong, serta kearifan lokal silih asah, silih asih, dan silih asuh,” seperti keterangan dalam surat edaran tersebut yang dilihat infoJabar, Minggu (5/10).

Gerakan Rereongan Poe Ibu menjadi wadah donasi publik resmi, yang diperuntukkan bagi kebutuhan darurat dan mendesak di bidang pendidikan dan kesehatan. Melalui gerakan ini, setiap individu diimbau untuk berkontribusi secara sederhana namun bermakna, dengan prinsip dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.

“Dengan prinsip dasar pelaksanaannya dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat melalui kontribusi sederhana namun bermakna dengan konsep “rereongan”, menuju terwujudnya visi Jawa Barat istimewa,”

Dalam surat tersebut juga dijelaskan ruang lingkup Gerakan Poe Ibu mencakup pemerintah provinsi, kabupaten/kota, instansi swasta, sekolah dasar dan menengah, serta masyarakat termasuk RT/RW. Gerakan ini menyasar semua elemen masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam donasi.

Tata kelola dana dilakukan melalui rekening khusus serta pengelolaan, penyaluran, dan pelaporan dilakukan oleh Pengelola Setempat, dengan fokus pada kebutuhan pendidikan dan kesehatan yang mendesak. Pelaporan bisa dilihat melalui Sapawarga/Portal Layanan Publik dan media sosial masing-masing dengan hashtag khusus.

Monitoring gerakan dilakukan oleh pihak terkait di setiap tingkatan: kepala perangkat daerah untuk instansi pemerintah, pimpinan instansi untuk swasta, kepala sekolah untuk pendidikan, dan Kepala Desa/Lurah untuk masyarakat, dengan koordinasi dari instansi terkait seperti Dinas Pendidikan atau Camat.

Gerakan ini menuai kritik tajam dari kalangan legislatif. Salah satunya datang dari anggota Komisi V DPRD Jabar, Zaini Shofari. Dia menilai, gerakan ini justru berpotensi disalahartikan dan memunculkan beban baru bagi masyarakat.

Zaini mengungkapkan, semangat gotong royong dan kesetiakawanan sosial memang penting, namun kebijakan seperti Poe Ibu yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor : 149/PMD.03.04/KESRA dinilainya terkesan dipaksakan atas nama solidaritas.

“Terkait dengan gerakan Sapoe Sarebu yang dicanangkan Gubernur Jabar, saya ingin menggarisbawahi, gerakan Poe Ibu ini gerakan yang menurut saya dipaksakan atas nama kesetiakawanan,” ungkapnya.

Imbauan untuk menyisihkan uang seribu rupiah per hari bagi ASN, siswa sekolah, hingga masyarakat umum berpotensi menimbulkan persoalan baru. Terutama karena ASN pasti akan mengikuti arahan atasannya, sementara bagi siswa, kegiatan serupa bisa berbenturan dengan aturan larangan pungutan di sekolah.

“ASN, siswa sekolah dan masyarakat diajak untuk menyisihkan seribu. Kalau ASN pasti akan mengikuti apa yang disampaikan oleh atasannya yaitu gubernur. Tapi bicara siswa sekolah, setiap ada pungutan apapun namanya di sekolah, itu dilarang, itu tidak boleh,” tegasnya.

“Tapi sekarang gubernur mengajarkan, bahkan dilegalkan kalau itu bagian dari seribu rupiah itu seolah-olah soliditas, rereongan ada di situ,” tambahnya.

Zaini mencontohkan, banyak aktivitas masyarakat yang justru dilarang dengan alasan serupa. Ia menyinggung fenomena warga yang meminta sumbangan di pinggir jalan untuk membantu pembangunan rumah ibadah atau pesantren.

“Saya contohkan, di pinggir jalan masyarakat meminta sumbangan bantuan untuk memfasilitasi sarana keagamaan, dilarang juga. Tapi tidak diberi solusinya. Untuk pesantren, majelis, atau lembaga keagamaan malah jadi nol untuk bantuan hibahnya,” ujarnya.

Sejumlah warga di Tasikmalaya menilai kebijakan tersebut memberatkan, terutama bagi masyarakat kecil. Seorang pedagang bernama Upep menyuarakan keberatannya. Ia menilai kebijakan itu tidak masuk akal karena masyarakat sudah menunaikan kewajiban membayar pajak.

“Berat atuh pak, kapan geus mayar pajeug (pajak),” kata Upep.

Ia berharap kebijakan yang dibuat pemerintah lebih realistis dan tidak terkesan mencari perhatian publik.

“Kebijaksanaan yang masuk akal aja lah,” kata Upep.

Warga lainnya, Engkus, juga menyatakan keberatan. Ia memiliki tujuh anak, tiga di antaranya masih bersekolah. Baginya, seribu rupiah per hari memiliki arti besar dalam kebutuhan sehari-hari.

“Saya mah keberatan pisan. Seribu buat saya gede. Apalagi, anak saya ada tujuh, tiga masih sekolah. Buat jajan anak kan dibagi-bagi. Sementara penghasilan aja gak lebih dari 30 (ribu) seharinya paling lagi bagus bisa 50 (ribu) sehari,” kata Engkus.

Engkus juga menilai bahwa urusan membantu fakir miskin merupakan tanggung jawab negara, bukan dibebankan kembali kepada masyarakat.

“Pajak mayar, nah urusan fakir miskin kan kewajiban negara atuh. Jangan balik lagi ke masyarakat,” ujar Engkus.

Seperti diketahui, di lingkungan ASN Kabupaten Tasikmalaya, sejumlah pegawai mengaku sudah lebih dulu melaksanakan program bantuan sosial. Mereka mendapatkan potongan sebesar Rp50.000 per bulan untuk membantu warga miskin.

“Ini kayaknya edaran Gubernur ya. Soalnya tanggal satu disetor paling lambat tanggal lima. Itu untuk bantu masyarakat yang gak mampu. Persoalannya sih bukan nominalnya. Tapi harus tepat sasaran. Jangan sampai salah orang,” kata ASN Kantor Bupati Tasikmalaya, Resi Kristina, kepada infoJabar.

Menanggapi dinamika tersebut, Bupati Tasikmalaya Cecep Nurul Yakin menyatakan pihaknya belum menerima surat resmi dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait edaran tersebut.

“Kami masih belum menerima surat resminya kaitan edaran ini,” kata Cecep Nurul Yakin.

Cecep menegaskan, gerakan Rereongan Sarebu bersifat sukarela, bukan instruksi wajib.

“Jadi kan sifatnya edaran bukan instruksi, tidak memaksa, toh tidak mengikat. Mau ikut silakan, gak juga, gak apa,” kata Cecep.

Ia juga mengungkapkan bahwa Pemkab Tasikmalaya saat ini tengah merumuskan program lain yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, yakni wakaf produktif.

“Kita lagi rumuskan untuk charity ini kaya wakaf produktif. Kita sedang olah. Ini kan buat masyarakat yang kurang beruntung,” kata Cecep Nurul Yakin.

Gerakan Poe Ibu

Untuk Kebutuhan Darurat

SE Ditujukan untuk Banyak Pihak

Dikritik DPRD Jabar

Berpotensi Timbulkan Masalah Baru

Warga Tasikmalaya Tolak Donasi Rp1.000/Hari

1.000 Memiliki Arti Besar Bagi Warga

ASN Kabupaten Tasikmalaya Sudah Lebih Dulu Lakukan Gerakan Itu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *