Kebun teh yang mati suri di wilayah Desa Sukamaju, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, kini kembali hijau. Kelompok Tani Bukit Kaliandra menanami lahan seluas 7 hektare itu dengan puluhan ribu pohon murbei sebagai upaya konservasi lingkungan sekaligus penguatan ekonomi petani.
Petani menanam sedikitnya 25 ribu pohon murbei di lahan bekas kebun teh yang sebelumnya tidak produktif. Selain itu, mereka juga menanam 2.500 pohon kopi serta ratusan alpukat yang merupakan bantuan dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
Ketua Kelompok Tani Bukit Kaliandra Lebaksiuh Sudarma mengatakan,penanaman murbei dilakukan karena tanaman tersebut memiliki daya serap air dan kekuatan akar yang baik, sehingga mampu menahan laju kerusakan lingkungan.
“Kalau murbei itu dari sisi cengkeraman akarnya luar biasa. Penghijauan juga cepat, jarak lima bulan sudah terasa. Ini penting untuk daerah penyangga,” kata Sudarma kepada infoJabar, Senin (15/12/2025).
Ia menjelaskan, kebun teh tersebut merupakan lahan tidak produktif milik PTPN yang telah habis masa Hak Guna Usaha (HGU)-nya. Lahan ini dikelola kelompok tani melalui program Pemberdayaan Masyarakat Desa Kebun (PMDK).
“Kami mendapat izin mengelola 7 hektare. Dari awal sudah diingatkan, lahan ini harus tetap dijaga, jangan sampai kehilangan fungsi lingkungannya,” ujarnya.
Selain berdampak ekologis, murbei juga dipilih karena memiliki nilai ekonomi yang relatif stabil. Daun murbei adalah pakan utama ulat sutra dan telah memiliki pasar yang jelas di tingkat lokal.
“Harga daun murbei Rp1.000 per kilogram. Dalam satu hektare bisa dapat sekitar 3 sampai 3,5 ton. Itu bersih, risikonya kecil dibandingkan sayuran,” jelas Sudarma.
Menurutnya, fluktuasi harga hasil pertanian hortikultura kerap membuat petani merugi. Murbei menjadi alternatif usaha tani berkelanjutan karena biaya perawatan rendah dan permintaan stabil.
“Kalau sayuran bisa untung besar, tapi risikonya juga besar. Murbei ini lebih tenang, lebih pasti,” katanya.
Langkah ini juga dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap meningkatnya bencana alam di Sukabumi, termasuk kejadian longsor dan banjir di wilayah Selabintana.
“Baru hujan sedikit saja dampaknya luar biasa. Kalau ini dibiarkan, ke depan bisa berbahaya. Petani itu sebenarnya penyangga terakhir, sebelum kawasan hutan,” ujarnya.
Ia berharap model pertanian yang menggabungkan konservasi dan ekonomi tersebut dapat diikuti kelompok tani lain, terutama di wilayah penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
“Kami bukan aktivis lingkungan. Tapi dari sisi akademisi dan petani, ini bentuk ikhtiar supaya alam tetap seimbang dan anak cucu kita masih punya masa depan,” kata Sudarma.







