24 Ribu Rumah Tak Layak Masih Ditemukan, Pemkab Sukabumi Percepat Perbaikan

Posted on

Rumah adalah tempat orang pulang. Namun bagi sebagian warga di Kabupaten Sukabumi, rumah masih berarti bangunan yang rapuh, lembap, atau sempit hingga tak sehat untuk ditinggali. Kondisi ini masih banyak ditemukan di sejumlah kecamatan.

Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten Sukabumi, Sendi Apriadi menyebut, jumlah rumah tidak layak huni yang harus ditangani masih cukup besar.

“Berdasarkan dokumen RP3KP yang telah disusun, kondisi terkini RTLH sebesar 2.4406 unit, dan dari tahun 2021 hingga tahun 2024 sudah tertangani sebanyak 6.828 unit RTLH,” ujar Sendi Apriadi, didampingi Kepala Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Rudi Abdullah.

Artinya, masih ada puluhan ribu rumah yang menunggu giliran perbaikan. Program ini sendiri bukan bantuan penuh. Pemerintah memberikan stimulan untuk kebutuhan dasar perbaikan, sementara warga melengkapinya lewat swadaya bersama keluarga atau lingkungan sekitar.

Penerima bantuan juga ditentukan berdasarkan kriteria tertentu. Sendi menjelaskan hal itu dilakukan agar program tepat sasaran.

“Warga negara Indonesia yang pernah sudah berkeluarga memiliki KTP dan Kartu Keluarga sesuai dengan domisili tetap memiliki atau menguasai tanah dengan status tanah hak milik dan dibuktikan dengan surat keterangan tanah,” katanya.

Rumah tersebut juga harus satu-satunya tempat tinggal, benar-benar tidak layak, dan pemiliknya belum pernah menerima bantuan serupa. Untuk memastikan hal itu, verifikasi dilakukan langsung ke lapangan.

“Agar tepat sasaran dan transparan, Disperkim merekrut Tenaga Fasilitator Lapangan (TFL) dan Koordinator Fasilitator (Korfas). Tugas dari TFL dan Korfas adalah melakukan pengecekan kriteria kelayakan penerima bantuan RTLH serta melakukan penilaian terhadap ketidaklayakan rumah,” jelas Sendi.

Tenaga fasilitator ini juga mengawasi proses pembangunan agar perbaikan tidak berhenti pada tampilan luar, tetapi menyentuh struktur, lantai, ventilasi, hingga sanitasi.

“Adanya TFL dan Korfas diberdayakan untuk mengawasi serta mengarahkan LPM atau melakukan dokumentasi pekerjaan di lapangan dari pengiriman material sesuai RAB yang disetujui oleh Calon Penerima Manfaat (CPM) hingga proses pembangunan fisik dari 0-100%,” ucapnya.

Tantangan terbesar ada pada anggaran dan akses. Tidak sedikit rumah warga berada di perbukitan kecil atau jauh dari jalan yang bisa dilalui kendaraan.

“Secara anggaran masih kurang karena banyaknya jumlah RTLH yang perlu ditangani. Di beberapa kecamatan, terdapat RTLH yang memiliki akses sulit sehingga perlu kerjasama dan swadaya dari pemilik RTLH, Desa, Kecamatan untuk menambahkan biaya operasional,” kata Sendi.

Untuk mempercepat penanganan, pemerintah daerah membuat pola pendanaan kolaboratif. Anggarannya dipadukan dari APBD Kabupaten, program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dari Kementerian PUPR, program RUTILAHU dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Dana Desa, hingga dukungan CSR dari perusahaan yang beroperasi di wilayah permukiman warga.

Dengan cara ini, pekerjaan tidak harus menunggu satu sumber anggaran saja. Desa, fasilitator, dan masyarakat terlibat langsung, sehingga perbaikan bisa berjalan bertahap tapi konsisten setiap tahun.

Nanti dampaknya mungkin terlihat pelan tapi terasa. Rumah yang lebih kokoh berarti keluarga tidak lagi hidup dengan atap bocor, dinding lapuk, atau lantai lembap.

Anak-anak bisa belajar tanpa gangguan udara kotor. Kesehatan dan kenyamanan tumbuh dari tempat tinggal yang layak.

“Penanganan ini bertahap, tapi keberlanjutan itu yang penting. Kami pastikan setiap tahun ada yang selesai,” tutup Sendi.

Tenaga fasilitator ini juga mengawasi proses pembangunan agar perbaikan tidak berhenti pada tampilan luar, tetapi menyentuh struktur, lantai, ventilasi, hingga sanitasi.

“Adanya TFL dan Korfas diberdayakan untuk mengawasi serta mengarahkan LPM atau melakukan dokumentasi pekerjaan di lapangan dari pengiriman material sesuai RAB yang disetujui oleh Calon Penerima Manfaat (CPM) hingga proses pembangunan fisik dari 0-100%,” ucapnya.

Tantangan terbesar ada pada anggaran dan akses. Tidak sedikit rumah warga berada di perbukitan kecil atau jauh dari jalan yang bisa dilalui kendaraan.

“Secara anggaran masih kurang karena banyaknya jumlah RTLH yang perlu ditangani. Di beberapa kecamatan, terdapat RTLH yang memiliki akses sulit sehingga perlu kerjasama dan swadaya dari pemilik RTLH, Desa, Kecamatan untuk menambahkan biaya operasional,” kata Sendi.

Untuk mempercepat penanganan, pemerintah daerah membuat pola pendanaan kolaboratif. Anggarannya dipadukan dari APBD Kabupaten, program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dari Kementerian PUPR, program RUTILAHU dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Dana Desa, hingga dukungan CSR dari perusahaan yang beroperasi di wilayah permukiman warga.

Dengan cara ini, pekerjaan tidak harus menunggu satu sumber anggaran saja. Desa, fasilitator, dan masyarakat terlibat langsung, sehingga perbaikan bisa berjalan bertahap tapi konsisten setiap tahun.

Nanti dampaknya mungkin terlihat pelan tapi terasa. Rumah yang lebih kokoh berarti keluarga tidak lagi hidup dengan atap bocor, dinding lapuk, atau lantai lembap.

Anak-anak bisa belajar tanpa gangguan udara kotor. Kesehatan dan kenyamanan tumbuh dari tempat tinggal yang layak.

“Penanganan ini bertahap, tapi keberlanjutan itu yang penting. Kami pastikan setiap tahun ada yang selesai,” tutup Sendi.