Indonesia kembali masuk daftar wilayah yang berpotensi menjadi lokasi jatuhnya benda luar angkasa. Kali ini, satelit milik Uni Soviet, Kosmos 482, diperkirakan akan jatuh ke Bumi dalam waktu dekat. Perkembangan ini menjadi sorotan karena sebelumnya, Indonesia sudah dua kali menjadi tempat jatuhnya sampah antariksa dari Soviet.
Peneliti Astronomi dan Astrofisika dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Profesor Thomas Djamaluddin, menjelaskan bahwa jatuhnya benda antariksa ke Bumi merupakan hal yang cukup rutin terjadi.
“Pemantauan dilakukan menggunakan analisis orbit dan semua sky camera yang dimiliki BRIN, ITERA, dan beberapa komunitas pemantau langit,” ujar Profesor Djamal melalui pesan instan kepada , Senin (5/5/2025).
Ia menyebut, rerata setiap 2-3 hari ada sisa satelit, roket, atau puing luar angkasa lainnya yang memasuki atmosfer dan jatuh ke Bumi. Fenomena ini terdeteksi melalui pemantauan jaringan radar dan sistem pengawasan internasional yang terus beroperasi.
Dari data BRIN, hingga kini tercatat enam kali kejadian jatuhnya sampah luar angkasa di wilayah Indonesia. Dua di antaranya berasal dari Uni Soviet:
Empat insiden lainnya berasal dari negara berbeda, yakni:
Meski sering terjadi, saat ini belum ada cara untuk mencegah atau meminimalkan dampak jatuhnya sampah antariksa. Bahkan, menurut Profesor Djamaluddin, lokasi pasti jatuhnya pun tak bisa diprediksi secara akurat.
“Hanya bisa dipantau, tapi pemantauan itu hanya untuk mengidentifikasi itu milik siapa kalau sudah jatuh. Jadi untuk mengantisipasi jatuhnya itu tidak memungkinkan,” tuturnya.
Ia mencontohkan, pada kasus puing roket China tahun 2003, lokasi jatuh awalnya diperkirakan berada di Jazirah Arab. Namun kenyataannya justru jatuh di Bengkulu. Hal serupa terjadi pada tabung bahan bakar milik AS yang jatuh di Sumenep pada 2016, yang sebelumnya diprakirakan jatuh di Samudra Hindia.
“Jadi memang tidak bisa diprakirakan. Paling jalurnya saja yang perlu diwaspadai. Jadi biasanya (para peneliti astronomi di BRIN) kalau ada sampah antariksa yang akan jatuh akan mengidentifikasi milik siapa, ada potensi bahaya atau tidak,” jelasnya.
Walau begitu, sepanjang sejarah jatuhnya sampah antariksa, tidak ada laporan korban jiwa atau kerusakan serius akibat insiden semacam ini.
Namun, kewaspadaan tetap diperlukan. Profesor Djamal menegaskan bahwa pemantauan lintasan objek-objek di orbit Bumi terus dilakukan oleh jaringan pengawas satelit, radar militer, dan badan antariksa dari berbagai negara, termasuk BRIN.
“Kalau ada sampah antariksa itu akan dilihat sampah antariksanya apa, apakah bermuatan bahan nuklir atau tidak, kalau tidak bermuatan nuklir apakah berpotensi mengandung zat kimia atau tidak, kami selalu memantau itu,” pungkasnya.