Satu tahun pasca bencana, nasib ribuan korban pergerakan tanah di Kabupaten Sukabumi, khususnya di Kampung Gempol, Palabuhanratu, masih menggantung tanpa kejelasan.
Usulan relokasi yang diajukan pemerintah daerah tak kunjung dieksekusi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Akibat kemacetan birokrasi di tingkat pusat ini, warga terpaksa mengambil pilihan nekat, kembali tinggal di dalam puing bangunan yang sudah retak, miring, dan nyaris roboh.
Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi, Budi Azhar Mutawali, mengungkap fakta pahit di balik fenomena ini. Ia menyebut, lambatnya penanganan pusat diduga karena fokus BNPB terpecah ke bencana di daerah lain.
Kepada infoJabar, Budi Azhar mengakui bahwa pemerintah daerah terus mendesak BNPB, namun, respons yang didapat belum memuaskan. Ia menduga, bencana di wilayah Sumatera menjadi alasan mengapa penanganan di Sukabumi menjadi lambat.
“Dengan situasi kondisi kejadian bencana di Sumatera, Aceh, dan sebagainya, konsentrasinya mungkin agak terpecah,” ungkap Budi Azhar.
Pernyataan ini menjadi pil pahit bagi warga Gempol. Mereka yang setiap malam tidur di bawah atap miring dan dinding retak, harus memaklumi lambatnya negara hadir hanya karena “antrean” prioritas bencana nasional.
“Mudah-mudahan pemerintah daerah kita tekankan agar terus berkoordinasi dengan BNPB pusat supaya penanganannya lebih cepat,” tegas Budi.
Budi juga menyebut persoalan relokasi tidak hanya di Kampung Gempol tetapi juga di beberapa wilayah lain di Kabupaten Sukabumi. Seluruh data warga yang masuk ke dalam daftar relokasi juga diusulkan ke pusat.
Budi membeberkan adanya pemangkasan drastis jumlah penerima bantuan akibat seleksi administrasi yang ketat.
Ia membeberkan, pengajuan awal sebanyak 9.000 rumah ke BNPB harus diverifikasi. Proses verifikasi ini terkendala kesiapan lahan, sebab pemerintah daerah bertugas menyiapkan lokasi, dan ada beberapa daerah menghadapi kendala.
Akibat kendala tersebut, data pengajuan menyusut drastis. Ribuan kepala keluarga terbuang dari daftar prioritas.
Data terakhir, pengajuan kepada BNPB berjumlah sekitar 5.300 rumah. “Termasuk salah satunya yang di Kampung Gempol itu sendiri,” tambah Budi.
Budi menjelaskan, ribuan warga tersebut tereliminasi karena persoalan teknis ketersediaan lahan relokasi. Syarat BNPB yang mengharuskan lahan berstatus *clean and clear* menjadi ganjalan besar bagi pemerintah daerah.
“Yang pertama itu masalah penyediaan tanahnya. Tidak semua desa itu mempunyai lahan,” jelas Budi.
Opsi penggunaan lahan milik negara atau perkebunan pun seringkali menemui jalan buntu karena masalah perizinan.
“Kemudian ada lahan, misalnya lahan PTPN, itu juga tidak memberikan. Sedangkan salah satu syarat untuk bantuan adalah kejelasan (clear) masalah urusan tanahnya. Nah ini yang menjadi kendala,” paparnya.
Ketimpangan penanganan terlihat ketika membandingkan nasib warga Gempol dengan wilayah lain. Wakil Bupati Sukabumi, Andreas, mengungkapkan bahwa pemerintah daerah terus mendorong pusat agar menepati janji.
“Koordinasi terus berjalan. Pak Sekda beberapa kali menghubungi BNPB. Sebagai pemerintah daerah, kami selalu mendorong supaya kegiatan ini sesuai dengan janji-janji yang harus ditepati,” ujar Andreas.
Andreas pun membawa kabar sedikit melegakan, meski ironis bagi warga Gempol. Ia menyebut ada segelintir warga di wilayah Jampang dan Lengkong yang justru sudah mendapatkan kepastian relokasi dalam waktu dekat.
“Untuk daerah Jampang dan Lengkong, kami sudah merelokasi 28 KK. Pembangunan direncanakan dimulai bulan Januari dan hunian sementara (Huntara) bisa selesai dalam dua bulan,” pungkas Andreas.
Budi juga menyebut persoalan relokasi tidak hanya di Kampung Gempol tetapi juga di beberapa wilayah lain di Kabupaten Sukabumi. Seluruh data warga yang masuk ke dalam daftar relokasi juga diusulkan ke pusat.
Budi membeberkan adanya pemangkasan drastis jumlah penerima bantuan akibat seleksi administrasi yang ketat.
Ia membeberkan, pengajuan awal sebanyak 9.000 rumah ke BNPB harus diverifikasi. Proses verifikasi ini terkendala kesiapan lahan, sebab pemerintah daerah bertugas menyiapkan lokasi, dan ada beberapa daerah menghadapi kendala.
Akibat kendala tersebut, data pengajuan menyusut drastis. Ribuan kepala keluarga terbuang dari daftar prioritas.
Data terakhir, pengajuan kepada BNPB berjumlah sekitar 5.300 rumah. “Termasuk salah satunya yang di Kampung Gempol itu sendiri,” tambah Budi.
Budi menjelaskan, ribuan warga tersebut tereliminasi karena persoalan teknis ketersediaan lahan relokasi. Syarat BNPB yang mengharuskan lahan berstatus *clean and clear* menjadi ganjalan besar bagi pemerintah daerah.
“Yang pertama itu masalah penyediaan tanahnya. Tidak semua desa itu mempunyai lahan,” jelas Budi.
Opsi penggunaan lahan milik negara atau perkebunan pun seringkali menemui jalan buntu karena masalah perizinan.
“Kemudian ada lahan, misalnya lahan PTPN, itu juga tidak memberikan. Sedangkan salah satu syarat untuk bantuan adalah kejelasan (clear) masalah urusan tanahnya. Nah ini yang menjadi kendala,” paparnya.
Ketimpangan penanganan terlihat ketika membandingkan nasib warga Gempol dengan wilayah lain. Wakil Bupati Sukabumi, Andreas, mengungkapkan bahwa pemerintah daerah terus mendorong pusat agar menepati janji.
“Koordinasi terus berjalan. Pak Sekda beberapa kali menghubungi BNPB. Sebagai pemerintah daerah, kami selalu mendorong supaya kegiatan ini sesuai dengan janji-janji yang harus ditepati,” ujar Andreas.
Andreas pun membawa kabar sedikit melegakan, meski ironis bagi warga Gempol. Ia menyebut ada segelintir warga di wilayah Jampang dan Lengkong yang justru sudah mendapatkan kepastian relokasi dalam waktu dekat.
“Untuk daerah Jampang dan Lengkong, kami sudah merelokasi 28 KK. Pembangunan direncanakan dimulai bulan Januari dan hunian sementara (Huntara) bisa selesai dalam dua bulan,” pungkas Andreas.
