Trauma Berat Bayangi Bocah Korban Pencabulan di Ciampea Bogor

Posted on

Tangis Ai (37) pecah ketika ia mengingat kembali peristiwa yang menimpa anak perempuannya, bocah 8 tahun yang selama ini tumbuh polos dan ceria. Hari itu, pertengahan Juli lalu, sang anak hanya ingin bermain di kebun, melihat bebek di sebuah kandang tak jauh dari rumah. Namun, kepolosan itu justru membawa luka yang sulit dihapus seumur hidupnya.

Ai baru mengetahui kejadian tersebut beberapa hari kemudian, setelah anaknya bercerita dengan terbata-bata kepada bibinya dan diteruskan kepada Ai. Sejak saat itu, dunia Ai runtuh.

“Siapa orang tua yang nggak hancur? Anak saya masih kecil, belum ngerti apa-apa, sudah diperlakukan begitu,” ucapnya sambil terisak di Mapolres Bogor, Minggu (21/9/2025).

Dua lelaki paruh baya, masing-masing berusia sekitar 65 tahun, diduga menjadi pelaku kekerasan seksual kepada anak. Mereka bahkan sempat mengakui perbuatannya dalam mediasi tingkat RT. Namun bagi Ai, tak ada kata damai.

“Kalau soal anak, mentalnya itu berat. Nggak bisa dianggap kekeluargaan. Luka ini bakal terbawa sampai kapan pun,” tegasnya.

Sejak kejadian itu, perilaku anaknya berubah drastis. Malam-malamnya tak lagi tenang. Ia sering terbangun, menjerit ketakutan karena mimpi buruk.

Di sekolah, ia sulit berkonsentrasi. Buku-buku pelajaran pernah disobeknya sendiri, hanya karena pikirannya terus dihantui bayangan pelaku.

“Dia bilang kepalanya sakit, kepikiran terus. Katanya otaknya ada bayangan itu terus,” tutur Ai.

Untuk menenangkan, Ai hanya bisa memeluk dan menuruti permintaan anaknya, seperti jajan atau mainan. Tetapi ia sadar, itu hanya pengalihan sesaat. “Luka di hati anak saya berat. Itu nggak akan hilang seumur hidupnya,” katanya lirih.

Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Bogor ikut dilibatkan dalam kasus yang menimpa korban.

Kepala Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Anak (PHPKA), Irna Yulistina, menjelaskan pihaknya menerima rujukan pendampingan dari Polres Bogor pada 11 Agustus. Empat hari kemudian, korban bersama ibunya mendatangi dinas untuk mendapatkan layanan psikologis.

“Dari hasil pemantauan, anak mengalami stres akut. Trauma ini muncul terhadap tempat-tempat yang biasa ia lalui, bahkan ketakutan bila bertemu orang tertentu,” ujar Irna di Mapolres Bogor, Minggu (21/9/2025).

Menurutnya, pendampingan akan terus dilakukan sesuai kebutuhan dan kondisi anak.

“Masing-masing anak punya daya tahan yang berbeda. Ada yang mungkin hanya perlu dua kali pertemuan, tapi ada juga yang lebih lama. Kami akan mendampingi sampai si anak kembali normal dan sehat layaknya anak-anak seusianya,” tambahnya.

Pada 11 Agustus 2025, keluarga korban resmi melaporkan kasus ini ke Polres Bogor. Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) kemudian bergerak melakukan penyelidikan. Korban dibawa ke RSUD Cibinong untuk visum, sementara keterangan saksi-saksi juga mulai dikumpulkan. Hingga akhir Agustus, sedikitnya tujuh saksi telah dimintai keterangan, termasuk keluarga korban.

Di tempat sama, Kasat Reskrim Polres Bogor, AKP Teguh Komara, menegaskan bahwa kasus ini menjadi perhatian serius kepolisian.

“Kami sudah menetapkan dua tersangka, mengamankan barang bukti, dan melakukan penahanan. Proses hukum akan terus berjalan sesuai aturan, sambil memastikan korban mendapatkan pendampingan yang semestinya,” beber Teguh.

Dari hasil penyelidikan, polisi mengantongi bukti yang cukup untuk meningkatkan status kasus ke penyidikan. Pada 20 September 2025, dua tersangka berinisial WS (65) dan MR (68) berhasil ditangkap di wilayah Ciampea.

Keduanya kini ditahan di Rutan Polres Bogor dan dijerat Pasal 82 junto Pasal 76E UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara serta denda hingga Rp5 miliar.

Stres Akut