SLBN A Pajajaran Kembali ke Sekolah Asal, Namun Ruang Kelas Terbatas

Posted on

Setelah 2,5 bulan mengungsi ke SLBN Cicendo karena gedung utama direnovasi untuk program Sekolah Rakyat, siswa-siswi SLBN A Pajajaran akhirnya kembali ke sekolah asal mereka di Jalan Pajajaran, Kota Bandung.

Namun kepulangan itu justru membawa kabar pilu di mana ruang kelas yang tersedia hanya tersisa sepertiga dari jumlah semula. Kondisi ini memaksa siswa SLBN A Pajajaran harus berhimpitan belajar di satu ruangan kelas dengan jumlah siswa yang melebihi kapasitas.

“Kalau untuk pergeseran dari SLB Cicendo kembali ke SLB Pajajaran sebenarnya tidak ada kendala. Karena sesuai program di awal hanya 2,5 bulan,” ujar Ketua Komite SLBN A Pajajaran Dadang Ginanjar saat ditemui, Rabu (23/7/2025).

“Yang jadi masalah ketika kembali ternyata ruangan di sini sangat kurang, dalam arti yang sebelumnya ada 37 ruangan sekarang yang bisa digunakan hanya 12 ruangan saja untuk empat jenjang: TK, SD, SMP, dan SMA,” sambungnya.

Kondisi ini berdampak langsung terhadap kualitas pembelajaran, apalagi para siswa di SLBN A Pajajaran mayoritas merupakan anak-anak dengan hambatan penglihatan. Banyak dari mereka mengandalkan indra pendengaran sebagai orientasi utama dalam memahami materi di kelas.

“Jadi ada satu ruangan diisi lebih dari dua rombongan belajar. Pembelajaran sudah jelas terganggu karena anak-anak kami terkendala penglihatan. Jadi orientasi yang digunakan itu pendengaran. Mungkin bisa dilihat ketika satu ruangan ada dua guru berbicara, otomatis anak tidak konsentrasi menerima pembelajaran yang harusnya dia dapatkan,” jelas Dadang.

Menurut Dadang, saat ini pihak sekolah dan komite orang tua hanya bisa bersabar. Namun ia berharap Pemprov Jawa Barat segera turun tangan menyelesaikan persoalan mendasar ini, utamanya soal status kepemilikan lahan yang masih dipegang Kementerian Sosial.

“Kalau dari Disdik informasinya kemarin akan membangun di anggaran perubahan dan itu pelaksanaannya di tahun depan. Tapi kami dari komite orang tua tidak bisa berbuat banyak kalau masalah itu,” ucap Dadang.

“Harapan kami lebih ke hak kepemilikan tanahnya agar bisa dihibahkan ke Pemprov Jabar untuk segera direalisasi. Karena secara administrasi pembangunan dan apapun itu tanpa status legalitas tanah tidak bisa dilakukan. Padahal SLB ini di bawah Pemprov Jabar,” lanjutnya.

Seiring waktu, lanjut Dadang, para orang tua merasa secara perlahan seperti ‘diusir’ dari sekolah yang telah menjadi rumah kedua anak-anak mereka. Dari awalnya memiliki delapan gedung, kini yang tersisa hanya dua gedung yang benar-benar bisa digunakan untuk pembelajaran.

“Kami dari orang tua merasakan itu. Kami khawatir karena sejarahnya kita berawal di Jalan Pajajaran nomor 50 dengan memiliki 8 gedung, kemudian berjalannya waktu berkurang jadi 5 gedung, berkurang lagi jadi 3 gedung dan hanya dua gedung yang bisa digunakan, yakni gedung C dan B. Alhamdulillah kami mendapatkan gedung baru yaitu gedung E, tapi itu tidak dijadikan ruang pembelajaran, tapi sebagai kantor kepala sekolah. Jadi kalau berpikir ke sana, jelas orang tua berpikiran ke situ. Khawatir, dari 8 gedung menjadi dua yang efektif untuk pembelajaran,” paparnya.

SLBN A Pajajaran saat ini memiliki sekitar 116 siswa dari empat jenjang pendidikan. Namun keterbatasan ruang mengakibatkan sejumlah aktivitas pembelajaran tak lagi bisa dijalankan sebagaimana mestinya. Ruang musik SD hingga perpustakaan sudah tidak ada. Bahkan kegiatan ekstrakurikuler pun banyak yang terpaksa ditiadakan.

“Banyak kegiatan yang ditiadakan, termasuk eskul. Ruang musik jadi ruang kelas, jadi banyak eskul yang tidak bisa dijalankan di SLBN ini,” tutup Dadang.

Perlahan Diusir