Saat Babakan Siliwangi ‘Rehat’, Kenangan Warga Bandung Tetap Hidup

Posted on

Di tengah hiruk pikuk kesibukan Kota Bandung, pepohonan tua di kawasan Babakan Siliwangi (Baksil) masih berdiri kokoh di antara deretan bangunan yang kian menjulang.

Hembusan angin segar dan suara dedaunan yang saling bergesekan masih terdengar, menghadirkan suasana teduh yang selama ini menjadi pelarian warga kota. Namun kali ini, ada yang berbeda. Hutan kota yang kerap menjadi tempat bersandar itu sedang menjalani masa perawatan panjang.

Pada siang hari yang biasanya ramai, jalur kayu yang membelah hutan kini tampak lengang. Tak terdengar lagi percakapan santai para pengunjung, tak ada pedagang kaki lima yang biasa menyuguhkan minuman dan jajanan khas Bandung.

Di bawah rimbun pepohonan, hanya tampak rangka besi berdiri tegak di tengah jalur hutan kota, dikelilingi besi lain serta tumpukan kayu. Struktur itu menjadi penanda bahwa proses renovasi telah berlangsung sejak Oktober dan akan berjalan selama sekitar 90 hari ke depan.

Penutupan sementara Baksil menjadi kesedihan tersendiri bagi sebagian warga. Meski begitu, kehidupan kecil masih bertahan. Burung-burung tetap beterbangan, berpindah dari satu dahan ke dahan lain sebelum menghilang di balik rimbun dedaunan. Angin masih berbisik, dan pepohonan tua tetap berdiri menjaga identitas hutan kota ini agar tak hilang oleh waktu.

Di antara kesunyian itu, ada pengunjung setia yang memilih menunggu. Nafis (23) adalah salah satunya, seseorang yang tumbuh bersama Baksil. Baginya, hutan kota ini bukan sekadar ruang hijau, melainkan ruang berekspresi dan bagian dari perjalanan hidupnya.

“Aku tuh tahu Baksil dari kelas 2 SMP, biasanya pas lagi libur semester suka diajak orang tua main ke sini. Keliling jembatan, jajan, terus duduk-duduk. Itu terus berlanjut sampai aku kuliah,” katanya.

Kenyamanan dan kesederhanaan menjadi alasan Nafis jatuh hati pada Baksil. “Tempatnya dekat pusat kota, terus tamannya juga unik karena ada di atas jembatan kan. Banyak tempat duduk, banyak pohon-pohon hijau-hijau gitu, adem. Jembatannya juga panjang banget, jadi bisa jalan sambil liat-liat pemandangan hutan kota, dan banyak jajanan juga,” katanya.

Bagi Nafis, Baksil bukan sekadar tempat singgah. Kawasan ini menjadi ruang pelarian yang selalu ia datangi berulang kali, untuk berolahraga, bersantai, mengerjakan tugas, menenangkan diri, atau sekadar menghirup udara segar setelah hari yang melelahkan.

Karena itu, kabar penutupan sementara terasa mengejutkan. Tempat yang selama bertahun-tahun menjadi pelarian dari riuhnya kota, mendadak tak bisa dikunjungi.

“Awalnya kaget, kagetnya tuh kaya waduh jadinya nanti gak bisa kesana gitu, itu kan biasanya menjadi salah satu opsi tempat main diantara beberapa banyak public space di Bandung,” katanya.

Namun di balik rasa kaget itu, terselip rasa lega. “Tapi di lain sisi aku senang juga sih, ternyata pemkot Bandung itu pengin berbenah gitu untuk merenovasi Baksil ini jadi lebih baik gitu, untuk bisa lebih menunjang aktivitas warga juga sebagai fasilitas publik gitu,” ucapnya.

Selama beberapa tahun terakhir, Nafis memang kerap memperhatikan perubahan fisik di Baksil, terutama pada jembatan kayu yang mulai menua. Jalur yang dahulu kokoh kini terasa lapuk dan kerap berdecit saat dilalui.

“Ada kayu yang udah lapuk, bahkan beberapa jembatan yang kayanya tuh udah lapuk banget tapi masih sering dinaikin sama anak-anak gitu kan disana, berbahaya gitu,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti persoalan lain yang menurutnya perlu dibenahi, yakni keberadaan tempat pembuangan sampah di sekitar kawasan Baksil.

“Disamping Baksil yang dijadikan tempat pembuangan sampah itu lebih baik dipindah, atau direnovasi lagi gimana caranya biar si tempat pembuangan sampah ini tuh nggak mengganggu aktivitas orang-orang yang berkunjung ke Baksil gitu kalo menurut aku, lebih diatur lagi, karena sebelum renovasi setahu aku itu tuh belum tertata jadi masih nyatu tuh tempat sampah sama area Baksil itu sendiri, jadi lumayan mengganggu dari bau sampahnya atau dari keadaannya gitu,” terangnya.

Penerangan dan keamanan juga menjadi perhatiannya. “Sama paling tambahin lampu penerangan sama CCTV soalnya suka banyak yang pacaran di sana teh, maksudnya menghindari yang tidak-tidak apalagi kalau sore, suka ada orang iseng juga gitu lah,” tambahnya.

Ikatan emosional Nafis dengan Baksil terbentuk dari banyak momen kecil yang ia temui di sana. Tempat ini menjadi ruang belajar, ruang menenangkan diri, sekaligus ruang untuk memahami kehidupan.

“kaya misalnya pas lagi capek-capeknya baksil tuh bisa buat merenung, buat menenangkan diri, terus momen lainnya tuh pernah aku liat ada nenek-nenek sama kakek-kakek dan mereka berdua lagi duduk di taman baksil gitu, ya itu sih intinya jadi ooh tempat ini tuh bisa jadi cerita bahkan untuk mereka yang udah lanjut usia, yang memang di umur seperti itu kan mereka mencarinya ketenangan hidup gitu ya,” ceritanya.

Pengalaman-pengalaman itu membuat Nafis menyadari bahwa Baksil lebih dari sekadar tempat olahraga atau berjalan-jalan. Ia adalah ruang pelarian dan ruang ekspresi. Karena itu, Nafis memilih setia menunggu hingga renovasi selesai.

“Pasti balik lagi. Aku kan baru lulus kuliah juga, jadi kalau lagi capek menanggung beban hidup, ya ke Baksil lagi,” ucapnya sambil tertawa kecil.

Harapannya sederhana. “Semoga setelah renovasi, Baksil makin nyaman. Fasilitasnya bisa menunjang, tapi ngga merusak hutan kotanya. Soalnya tiap weekend itu kan rame banget, banyak orang, dan weekday juga tetep banyak yang dateng,” ucapnya.