Pernahkah Anda melihat bayangan menyerupai wajah pada serat kayu, noda tembok, atau gumpalan awan? Banyak orang mengaitkan pengalaman tersebut dengan hal supranatural. Namun, dalam kajian ilmiah, fenomena ini berkaitan dengan cara kerja otak yang dikenal sebagai pareidolia.
Istilah pareidolia berasal dari bahasa Yunani. Kata para berarti keliru atau menyimpang, sedangkan eidolon berarti gambar atau rupa. Dalam dunia medis, pareidolia termasuk bagian dari apofenia, yaitu kecenderungan otak manusia untuk menemukan pola atau makna pada rangsangan visual yang sebenarnya acak.
Fenomena ini bukan sekadar hasil imajinasi. Pareidolia merupakan dampak dari proses evolusi otak manusia yang dirancang untuk mengenali wajah dengan cepat. Kemampuan tersebut sangat penting untuk bertahan hidup, terutama dalam situasi sosial dan lingkungan yang kompleks.
Otak manusia memiliki sistem pemrosesan visual yang sangat adaptif. Sistem ini memungkinkan seseorang mendeteksi wajah hanya dalam hitungan miliinfo. Namun, kecepatan ini kerap menghasilkan apa yang disebut sebagai “positif palsu”, yakni ketika otak mengira suatu objek sebagai wajah, padahal tidak demikian.
Menariknya, pareidolia tidak berhenti pada pengenalan bentuk wajah semata. Otak juga dapat menangkap kesan emosi atau kepribadian dari objek yang tampak seperti wajah tersebut.
“Salah satu ciri mencolok dari objek-objek ini adalah bahwa mereka bukan hanya tampak seperti wajah, tetapi juga dapat menyampaikan kesan kepribadian atau makna sosial,” tulis peneliti dalam studi tersebut, dikutip dari Live Science, Senin (29/12/2025).
Dalam konteks medis, pareidolia juga dapat menjadi petunjuk adanya gangguan saraf tertentu. Sejumlah penelitian melaporkan bahwa pasien Parkinson dan demensia Lewy body lebih sering mengalami fenomena ini dibandingkan populasi umum.
Selain itu, studi tahun 2022 yang dipublikasikan dalam jurnal PLoS One menemukan bahwa individu yang mengalami pareidolia secara intens cenderung mengaku memiliki pengalaman paranormal atau kemampuan indra keenam. Temuan ini menunjukkan adanya hubungan antara persepsi visual dan keyakinan subjektif seseorang.
Kondisi visual tertentu turut memengaruhi seberapa sering seseorang mengalami pareidolia. Salah satunya adalah Visual Snow Syndrome, yakni gangguan visual yang ditandai dengan munculnya titik-titik berkedip menyerupai *noise pada foto lama, yang terlihat terus-menerus.
Peneliti dari The University of Queensland, Australia, menemukan bahwa pengidap visual snow syndrome cenderung mengalami pareidolia dengan intensitas lebih kuat. Dalam eksperimen yang melibatkan 250 relawan, kelompok ini secara konsisten memberikan skor “wajah” lebih tinggi pada objek sehari-hari dibandingkan kelompok kontrol.
“Secara umum, semua kelompok sepakat tentang gambar mana yang paling ‘mirip wajah’, tetapi kelompok visual snow melaporkan ilusi wajah yang terasa jauh lebih kuat dan jelas,” ungkap peneliti Jessica Taubert.
Para ahli menduga kondisi ini berkaitan dengan hipereksitabilitas pada korteks visual, yaitu area otak yang bertanggung jawab menafsirkan informasi visual dari mata. Ketika area ini terlalu sensitif, otak lebih mudah membentuk ilusi pola, termasuk wajah.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Dengan demikian, seringnya melihat “wajah” pada benda mati lebih berkaitan dengan cara otak memproses rangsangan visual secara cepat atau adanya sensitivitas visual tertentu. Fenomena ini bukan indikasi gangguan supranatural, melainkan cerminan kompleksitas kerja otak manusia.
Artikel ini telah tayang di .
