Rasa sedih dan geram masih membekas dalam hati dr. Asep Hermana, Sp.B., FINACS, MM. Dokter spesialis bedah dan alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran angkatan 1990 ini menceritakan pengalaman tak terlupakan saat menjadi relawan kemanusiaan di kamp pengungsian warga Palestina yang terletak di Jordania, pada Maret 2024 lalu
infoJabar berkesempatan berbincang dengan Asep. Dalam misi tersebut, Asep berangkat bersama Tim Daarut Tauhid Peduli. Ia bertugas selama 14 hari, tepatnya di bulan Ramadan. Fokus utamanya adalah melakukan assessment atau penilaian terhadap kondisi kesehatan para pengungsi di enam kamp yang berada dekat perbatasan Palestina dan Lebanon.
“Di Jordania di pengungsi Palestina, posisinya di 6 kamp pengungsi, lokasinya di perbatasan Palestina. Saya lakukan tahun kemarin di bulan ramadan,” kata Asep kepada infoJabar, Kamis (24/4/2025).
“Karena bantuan kita ke Gaza saat itu sudah sampai, Daarut itu sudah punya masjid di jalur Gaza. Kemudian bantuan kemanusian juga sampai jalur Gaza. Nah ada yang jarang terperhatikan oleh dunia internasional yaitu para pengungsi. Jadi para pengungsi yang ada di Jordania itu ada di perbatasan, di perbatasan tepi barat, kemudian perbatasan dengan Lebanon. Itu kehidupannya memang sangat bergantung pada bantuan. Sehingga saya ditugaskan untuk melakukan assessment dalam bidang kesehatan,” sambungnya.
Asep mengatakan assessment itu seperti permasalahan apa saja yang dihadapi pengungsi, apa saja fasilitas yang ada di pengungsian, melakukan perencanaan kira-kira fasilitas kesehatan apa saja yang perlu ditambah, perlu diperbaiki dan perlu dibangun.
“Jadi tugasnya itu saja. Jadi dokternya saya satu orang, kemudian satu dari Daarut Tauhid Peduli Muhammad Ghazi Al Ghifari,” ujarnya.
Ia tidak sendiri. Dalam tim yang berjumlah 12 orang, Asep didampingi relawan lain dari kalangan mahasiswa hingga anggota NGO. “Kita mengunjungi kamp pengungsi yang menurut keterangan dari teman-teman relawan itu mempunyai problematika dalam bidang kesehatan. Jadi kita kunjungan. Apa yang dilakukan ketika kunjungan? Apakah pengobatan? Atau kah kita melakukan assessment? Nah, kita melakukan assessment terhadap angka kesakitan, kunjungan yang sakit. Kemudian jenis penyakit, kemudian fasilitas kesehatan apa yang ada di sana,” jelasnya.
“Kemudian juga tenaga kesehatan yang ada di sana itu di-cover oleh siapa. Termasuk masalah pembiayaan, masalah kesehatan,” tambahnya.
Tak hanya assessment, Asep juga bersama para relawan melakukan pemeriksaan dan pengobatan. Asep juga didampingi dokter asal Mesir bernama Dr Maher, keduanya sama-sama melakukan kegiatan pemeriksaan dan pengobatan.
Kemudian kegiatan lainnya Asep membantu menyalurkan bantuan, seperti pemberian bantuan paket sembako dan turut serta dalam peresmian salah satu klinik yang direnovasi dari hasil donasi masyarakat Indonesia di salah satu klinik.
Asep mengaku menyaksikan langsung situasi genting di daerah perbatasan. Drone dan roket tampak melintas di udara, menuju wilayah Palestina. Suara ledakan pun terdengar jelas dari kamp pengungsian.
Bagi Asep, pemandangan itu sangat menyakitkan, terlebih setiap harinya ada korban jiwa yang berjatuhan. Dia mengaku, tak pernah membayangkan jika menjadi warga Palestina yang hidup dengan bayang-bayang perang.
“Saya beberapa kali di daerah Borders, daerah pengungsian itu betul-betul perbatasan. Jadi kalau misal kita lihat drone berterbangan itu memang lumayan mengerikan,” tuturnya.
Menurut Asep, sebetulnya dia dan tim ingin memasuki kamp pengungsian yang ada di Lebanon, namun pada saat itu dia tidak diberi izin oleh petugas keamanan setempat.
“Kita mau masuk saat itu ke tepi barat. Tapi kita konsultasi dengan KJRI di sana, nggak diizinkan. Kemudian dua hari kemudian nggak diizinkan. Karena saat itu sedang naik tensi ketegangannya. Jadi saat itu harusnya saya tuh masuk ke tepi barat, tapi nggak bisa masuk. Kemudian teman-teman juga yang lewat Rafah juga saat itu nggak bisa masuk,” tuturnya.
Selain kamp pengungsian Jordania, Asep juga mengunjungi kamp pengungsian lainnya yang letaknya berada di perbatasan Suriah. “Jadi kalau boleh dibilang aman. Tapi di daerah Borders itu turun naik. Roket terlihat dan ledakan terdengar,” ujarnya.
Selama bertugas sebagai relawan kemanusiaan di kamp pengungsian warga Palestina di Jordania, ia menemukan berbagai persoalan kesehatan yang dialami para pengungsi. Keluhan yang paling umum, menurutnya, berasal dari kondisi gizi yang buruk hingga penyakit menular.
Namun, masalah kesehatan fisik bukan satu-satunya penderitaan yang dialami para pengungsi. Asep mengungkapkan bahwa banyak dari mereka juga mengalami trauma baik secara fisik maupun psikologis akibat kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh tentara zionis Israel.
“Ternyata mereka itu banyak yang mengalami trauma fisik. Ada yang tangannya luka, pokoknya mereka banyak luka-luka terkena serpihan,” tuturnya.
Lebih lanjut, Asep juga mengisahkan bahwa beberapa kamp pengungsian yang ia kunjungi memiliki sejarah panjang. Salah satu kamp bahkan sudah berdiri sejak 1948, tidak lama setelah terjadinya eksodus besar warga Palestina.
“Saya sempat berkunjung ke kamp tertua itu, tepatnya itu dekat dengan perbatasan Suriah, kamp tertua berdiri sejak tahun 1948. Jadi mereka ada yang sudah punya anak, sudah punya cucu, mereka tinggal di kayak bangunan-bangunan ada yang disediakan oleh pemerintah Jordania. Di sana itu diberi jatah tanah oleh pemerintah Jordania, satu keluarga itu, satu tanah dan tidak boleh diperluas dan tidak diperjualbelikan,” pungkasnya.