Aroma khas kertas langsung menyergap indra penciuman begitu kaki melangkah masuk ke kawasan Pasar Buku Palasari, Bandung. Di bawah naungan atap yang melindungi ribuan judul buku, tumpukan buku yang menjulang tinggi, seolah benteng ilmu pengetahuan.
Berdasarkan pantauan di lokasi, buku pelajaran sekolah tak lagi mendominasi di etalase paling depan. Justru deretan novel fiksi populer, buku sejarah, hingga literatur politik kini menjadi primadona yang dipajang mencolok untuk memikat pengunjung.
Namun, di balik tumpukan buku yang estetik itu, para pedagang sedang berjuang keras. Pasar yang dulu jadi tujuan utama pelajar dan mahasiswa di Bandung ini, sekarang harus menghadapi tantangan berat: era serba digital.
Pasar Buku Palasari bukan sekadar tempat transaksi jual beli, melainkan sebuah monumen sejarah perbukuan di Kota Kembang. Rukmawan (62), atau akrab disapa Wawan, seorang pedagang senior sekaligus Ketua Paguyuban Pasar Buku Palasari menuturkan bahwa pedagang buku sejatinya sudah eksis sejak 1970-an.
“Dulu lokasinya tidak di sini, tapi di Alun-alun, depan Bioskop Dian, tepatnya di Jalan Dalem Kaum No. 58 dan Bioskop Nusantara (sekarang menjadi kantong parkir),” kenang Wawan.
Wawan, Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Buku Palasari (Foto: Shifa Lupiah Ajijah/infoJabar)
Pedagang dipindahkan ke lokasi Palasari saat ini sekitar 1980, sebagai dampak penataan kota menjelang peringatan Konferensi Asia Afrika agar kota terlihat lebih rapi.
Sejarah Palasari juga diwarnai oleh tragedi dan kebangkitan. Wawan mencatat dua peristiwa kebakaran besar yang pernah melanda, yakni satu peristiwa yang menghanguskan pasar secara total, dan kebakaran kedua yang menghabiskan separuh area pasar.
Meskipun diterpa bencana tersebut, para pedagang memilih bertahan.
“Ya gimana hidupnya di sini, mau gimana lagi,” ujar Wawan.
Jika dahulu api adalah musuh yang nyata, kini pedagang menghadapi tantangan perubahan perilaku konsumen. Era digital membawa kemudahan akses informasi melalui *e-book* dan format PDF, yang secara perlahan menggerus relevansi toko buku fisik.
Wawan mengungkapkan, dampak ekonomi sangat signifikan. “Pendapatan pedagang merosot tajam,” ungkapnya, seraya memperkirakan penurunan omzet bisa mencapai 90 persen.
Sepinya pengunjung fisik membuat banyak anak pedagang enggan meneruskan usaha orang tuanya, memilih bekerja di sektor lain karena menganggap bisnis ini tidak lagi menjanjikan.
Selain digitalisasi, inkonsistensi kurikulum pendidikan menjadi pukulan telak bagi pedagang buku pelajaran. Perubahan kurikulum yang terasa terlalu cepat, membuat stok buku pedagang menjadi tidak berguna.
“Kita beli buku pelajaran stok tiga eksemplar, baru laku satu, sudah ganti kurikulum. Sisanya jadi sampah, dikilo,” keluh Wawan.
Pey (51), pedagang yang telah berjualan selama 10 tahun, membenarkan hal ini. Ia menegaskan bahwa buku pelajaran kini sangat berisiko, sehingga banyak pedagang beralih fokus menjual novel dan buku umum.
Di tengah pesimisme tersebut, lorong-lorong Palasari ternyata tidak benar-benar sunyi. Masih ada detak kehidupan yang dibawa oleh generasi muda. Kevin (22) dan Pinky (22), dua pengunjung asal Jakarta, adalah representasi dari Gen Z yang justru merindukan buku cetak.
Bagi mereka, Palasari menawarkan pengalaman yang tidak bisa digantikan oleh gawai.
“Aku ke sini karena sedang menyusun skripsi dan hobi baca. Aku ingin mencari buku asli yang sudah langka dan tidak diterbitkan lagi,” ujar Pinky.
Fenomena ini menarik. Meskipun asumsi umum menyebutkan anak muda lebih suka serba digital, Kevin justru mengaku anti terhadap e-book.
“Kalau e-book gampang terdistraksi, buka notifikasi lain. Aku harus pegang fisiknya, lihat bentuknya,” tegas Kevin.
Bagi mereka, Palasari adalah tempat berburu harta karun atau permata tersembunyi. Sensasi menemukan buku dengan edisi terbatas atau buku lama yang sudah ditarik dari peredaran menjadi daya tarik tersendiri yang tidak dimiliki toko buku modern nan steril. Selain itu, harga yang terjangkau menjadi alasan rasional mengapa pasar ini tetap relevan bagi daya beli mahasiswa.
Para pedagang yang bertahan, seperti Pey dan Wawan, kini menerapkan strategi adaptasi. Mereka tidak lagi bergantung pada buku teks sekolah, melainkan fokus pada novel-novel klasik dan populer seperti Harry Potter, Little Women, Perahu Kertas, hingga karya sejarah dan politik.
Meskipun beberapa pedagang mencoba merambah pasar daring, banyak yang merasa bahwa “nyawa” Palasari ada pada interaksi langsung. Pey sempat mencoba berjualan daring, namun kembali fokus ke luring karena kepuasan transaksi tatap muka.
“Kalau ke sini, pengunjung bisa lihat kondisi buku langsung, tidak merasa dibohongi. Kalau beli daring cuma satu, kalau datang langsung, dari niat beli satu bisa jadi beli lima karena tergoda saat pegang-pegang buku,” jelas Pey.
Prinsip menjaga kualitas juga menjadi kunci. Pey menegaskan bahwa ia hanya menjual buku asli, meskipun bekas.
“Biar bekas tapi ori,” tegasnya, menolak menjual buku bajakan demi menjaga kepercayaan pembeli.
Pasar Buku Palasari kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi digempur teknologi, di sisi lain masih dicintai oleh mereka yang suka bau kertas.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Harapan para pedagang sebenarnya sederhana. Mereka menanti kebijakan pemerintah yang lebih mendukung, seperti kewajiban siswa membaca buku sastra fisik atau stabilitas kurikulum agar stok buku tidak berakhir di pengepul kertas.
Palasari bukan sekadar pasar, tetapi penjaga ingatan. Selama masih ada manusia yang mencintai aroma kertas dan sensasi tersesat di antara tumpukan kata, Palasari akan menolak untuk padam, meski nyalanya mungkin tak seterang dulu.
Jejak Sejarah: Dari Alun-alun ke Palasari
Tantangan Pasar Buku Palasari di Era Digital
Strategi Bertahan: Kualitas dan Nostalgia
Jika dahulu api adalah musuh yang nyata, kini pedagang menghadapi tantangan perubahan perilaku konsumen. Era digital membawa kemudahan akses informasi melalui *e-book* dan format PDF, yang secara perlahan menggerus relevansi toko buku fisik.
Wawan mengungkapkan, dampak ekonomi sangat signifikan. “Pendapatan pedagang merosot tajam,” ungkapnya, seraya memperkirakan penurunan omzet bisa mencapai 90 persen.
Sepinya pengunjung fisik membuat banyak anak pedagang enggan meneruskan usaha orang tuanya, memilih bekerja di sektor lain karena menganggap bisnis ini tidak lagi menjanjikan.
Selain digitalisasi, inkonsistensi kurikulum pendidikan menjadi pukulan telak bagi pedagang buku pelajaran. Perubahan kurikulum yang terasa terlalu cepat, membuat stok buku pedagang menjadi tidak berguna.
“Kita beli buku pelajaran stok tiga eksemplar, baru laku satu, sudah ganti kurikulum. Sisanya jadi sampah, dikilo,” keluh Wawan.
Pey (51), pedagang yang telah berjualan selama 10 tahun, membenarkan hal ini. Ia menegaskan bahwa buku pelajaran kini sangat berisiko, sehingga banyak pedagang beralih fokus menjual novel dan buku umum.
Di tengah pesimisme tersebut, lorong-lorong Palasari ternyata tidak benar-benar sunyi. Masih ada detak kehidupan yang dibawa oleh generasi muda. Kevin (22) dan Pinky (22), dua pengunjung asal Jakarta, adalah representasi dari Gen Z yang justru merindukan buku cetak.
Bagi mereka, Palasari menawarkan pengalaman yang tidak bisa digantikan oleh gawai.
“Aku ke sini karena sedang menyusun skripsi dan hobi baca. Aku ingin mencari buku asli yang sudah langka dan tidak diterbitkan lagi,” ujar Pinky.
Fenomena ini menarik. Meskipun asumsi umum menyebutkan anak muda lebih suka serba digital, Kevin justru mengaku anti terhadap e-book.
“Kalau e-book gampang terdistraksi, buka notifikasi lain. Aku harus pegang fisiknya, lihat bentuknya,” tegas Kevin.
Bagi mereka, Palasari adalah tempat berburu harta karun atau permata tersembunyi. Sensasi menemukan buku dengan edisi terbatas atau buku lama yang sudah ditarik dari peredaran menjadi daya tarik tersendiri yang tidak dimiliki toko buku modern nan steril. Selain itu, harga yang terjangkau menjadi alasan rasional mengapa pasar ini tetap relevan bagi daya beli mahasiswa.
Tantangan Pasar Buku Palasari di Era Digital
Para pedagang yang bertahan, seperti Pey dan Wawan, kini menerapkan strategi adaptasi. Mereka tidak lagi bergantung pada buku teks sekolah, melainkan fokus pada novel-novel klasik dan populer seperti Harry Potter, Little Women, Perahu Kertas, hingga karya sejarah dan politik.
Meskipun beberapa pedagang mencoba merambah pasar daring, banyak yang merasa bahwa “nyawa” Palasari ada pada interaksi langsung. Pey sempat mencoba berjualan daring, namun kembali fokus ke luring karena kepuasan transaksi tatap muka.
“Kalau ke sini, pengunjung bisa lihat kondisi buku langsung, tidak merasa dibohongi. Kalau beli daring cuma satu, kalau datang langsung, dari niat beli satu bisa jadi beli lima karena tergoda saat pegang-pegang buku,” jelas Pey.
Prinsip menjaga kualitas juga menjadi kunci. Pey menegaskan bahwa ia hanya menjual buku asli, meskipun bekas.
“Biar bekas tapi ori,” tegasnya, menolak menjual buku bajakan demi menjaga kepercayaan pembeli.
Pasar Buku Palasari kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi digempur teknologi, di sisi lain masih dicintai oleh mereka yang suka bau kertas.
Harapan para pedagang sebenarnya sederhana. Mereka menanti kebijakan pemerintah yang lebih mendukung, seperti kewajiban siswa membaca buku sastra fisik atau stabilitas kurikulum agar stok buku tidak berakhir di pengepul kertas.
Palasari bukan sekadar pasar, tetapi penjaga ingatan. Selama masih ada manusia yang mencintai aroma kertas dan sensasi tersesat di antara tumpukan kata, Palasari akan menolak untuk padam, meski nyalanya mungkin tak seterang dulu.
