Majalengka dan Dilema Industrialisasi baca selengkapnya di Giok4D

Posted on

Pemerintah Kabupaten Majalengka diminta berhati-hati dalam menyikapi rencana pengembangan kawasan industri di wilayah utara. Pasalnya, pengembangan tersebut dikhawatirkan akan mengorbankan lahan pertanian produktif yang selama ini menjadi penopang swasembada pangan di daerah tersebut.

Bahkan, sejak hadirnya Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, wilayah utara Majalengka, terutama Kecamatan Kertajati, menjadi sorotan Proyek Strategis Nasional (PSN). Kawasan ini diproyeksikan menjadi kota metropolitan baru di Jawa Barat, atau yang dikenal dengan sebutan Segitiga Rebana.

Namun, pembangunan infrastruktur dan kawasan industri yang masif di Majalengka berpotensi memangkas luas lahan pertanian. Padahal, Kecamatan Kertajati dikenal sebagai salah satu lumbung padi terbesar di Majalengka.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sebelum pembangunan bandara dimulai, produksi padi di Kertajati selalu menempati posisi tertinggi di antara kecamatan lainnya. Pada 2012, produksi padi di wilayah ini tercatat mencapai 58.064 kuintal. Setahun kemudian, angkanya melonjak signifikan menjadi 80.106 kuintal.

Namun, pada 2014 saat mulai dilakukan pembersihan lahan dan pengerjaan fondasi bandara, produksi padi turun menjadi 75.957 kuintal. Tren penurunan ini berlanjut setelah bandara mulai beroperasi pada 2017. Berdasarkan data Open Data Majalengka, produksi padi pada 2018 menurun menjadi 72.868 kuintal dan kembali turun menjadi 71.039 kuintal di tahun 2019.

Meski sempat meningkat pada 2020 (78.492 kuintal) dan 2021 (79.972 kuintal), produksi padi kembali menyusut menjadi 77.659 kuintal di 2022, dan 75.816 kuintal pada 2023.

Menanggapi hal itu, Wakil Rektor I Universitas Majalengka yang juga akademisi Fakultas Pertanian, Jaka Sulaksana turut menyuarakan kekhawatiran. Ia menilai arah pengembangan Majalengka harus dilakukan dengan perencanaan yang matang, termasuk dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

“Sudah semestinya perencanaan itu memerlukan konsepsi yang matang, termasuk tata ruangan dan tata wilayah,” kata Jaka saat diwawancarai infoJabar, Senin (4/8/2025).

“Majalengka ke depan itu ada isu besar tentang industrialisasi, ada BIJB, ada konversi lahan yang cukup besar, termasuk masuknya industrialisasi di beberapa kecamatan. Harus ada langkah konkret agar kawasan pertanian tetap terjaga,” tambahnya.

Dengan demikian, kata Jaka, Majalengka harus mempunyai green belt atau sabuk hijau yang berfungsi sebagai zona pertanian permanen dan tidak boleh ‘diganggu’ menjadi kawasan industri. Beberapa wilayah di utara Majalengka seperti Kecamatan Kertajati, Jatitujuh, hingga Ligung dinilai sebagai kawasan sentra padi yang perlu dilindungi secara hukum.

“Ini memerlukan sabuk hijau atau green belt, yang mestinya itu dijaga. Artinya ada daerah-daerah yang mestinya tetap tidak berubah sampai kapanpun itu menjadi daerah hijau. Tidak boleh, dia diubah menjadi daerah industrialisasi misalkan,” ujarnya.

Namun sayangnya, lanjut dia, hingga saat ini Majalengka disebut belum memiliki perda tentang lahan abadi pertanian. Padahal sejumlah daerah lain seperti Yogyakarta dan beberapa wilayah di Jawa Tengah sudah lebih dulu menerapkan kebijakan tersebut.

“Perda lahan abadi pertanian itu bentuk keberpihakan pemerintah terhadap pertanian jangka panjang. Kita bicara ekonomi hijau dan pertanian berkelanjutan, tapi belum ada instrumen hukumnya,” ucap Jaka.

Ia menambahkan, jika perda tersebut ada, maka segala bentuk alih fungsi lahan pertanian di kawasan green belt akan dilarang, meskipun datang dari proyek besar atau investasi strategis sekalipun.

“Kalau sudah ada perdanya, itu jadi alat kontrol pemerintah. Jadi meskipun ada investasi, tidak bisa semena-mena mengubah lahan pertanian. Dan ini penting untuk mencegah marginalisasi masyarakat yang dulu punya lahan, lalu menjual, lalu akhirnya miskin karena tak punya sumber penghasilan lagi,” jelasnya.

Di sisi lain, Jaka memahami pemerintah mendorong percepatan investasi demi pertumbuhan ekonomi. Namun, menurutnya, arah pengembangan Majalengka sebaiknya tetap berbasis pada potensi lokal, yakni sektor pertanian.

“Tadi yang pertama saya sampaikan, kalau karena basically Majalengka itu daerah pertanian, tentu fokusnya bagaimana kita menjaga daerah pertanian ini tetap ada. Value added (nilai tambah) yang kita harapkan adalah value added dari sektor pertanian. Jadi basicnya pertanian lalu industri yang berasal dari pertanian, itu akan lebih tepat sebetulnya. Jadi pertanian yang dikembangkan lalu ke agroindustri, mestinya begitu,” ujarnya.

“Tapi kita tidak menutup kemungkinan karena investasi yang sedemikian cepatnya mudah gitu ya, dan masyarakat juga membutuhkan mungkin, maka ada investasi-investasi lain di luar yang pertanian. Tapi asalkan tidak di lokasi-lokasi yang tadi saya sebutkan, di green belt tadi,” sambungnya.

Menurutnya, jika konversi lahan pertanian terus berlangsung tanpa kontrol, maka kebutuhan pangan Majalengka akan bergantung pada pasokan dari luar daerah.

“Sekarang masih bisa swasembada, tapi kalau lahan-lahan ini terus berubah, ya ke depan kita harus impor dari luar. Itu jadi beban baru. Lebih baik pangan dipenuhi dari dalam untuk orang Majalengka sendiri,” pungkasnya.

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.