Perempuan di Kota Bandung yang menyandang status sebagai tulang punggung keluarga mencapai lebih dari 100 ribu orang. Hal tersebut bisa disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari ditinggal meninggal dunia oleh suami, perceraian, dan hal lainnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung Uum Sumiyati mengatakan, angka sebanyak 16-17 persen tersebut adalah perempuan yang tercatat sebagai kepala keluarga secara administrasi kependudukan.
“Jumlah yang terdata belum terlalu banyak, tapi kita tahu kepala keluarga di Bandung itu ada 16-17 persen dari seluruh kepala keluarga di Kota Bandung dari sisi administrasi kependudukan,” ungkap Uum di Balai Kota Bandung, Senin (21/4/2025).
Total jumlah kepala keluarga di Kota Bandung berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung tahun 2022 semester II adalah sebanyak 827.912 jiwa. Dengan angka 16 persen, ada sekitar 132 ribu perempuan di Kota Bandung yang merupakan kepala keluarga.
Di lapangan, ia mengatakan, ada lebih banyak perempuan yang menjadi tulang punggung meski tidak tercatat sebagai kepala keluarga.
“Belum lagi kepala keluarga yang punya suami tapi tidak produktif, dia jadi tulang punggung keluarga karena misalnya suami sakit tidak bisa cari nafkah,” paparnya.
Untuk meringankan beban perempuan pencari nafkah ini, Uum mengatakan, pihaknya saat ini tengah menggerakkan program pemberdayaan bekerja sama dengan lembaga Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Perempuan kepala keluarga yang terpilih akan mengikuti program pelatihan hingga mendapatkan santunan.
“Termasuk bantuan permodalan, kurang lebih sudah 160 perempuan yang kita bantu dengan jumlah variatif. Kisaran Rp1,5 hingga Rp2 juta per-bulan untuk perempuan kepala keluarga,” jelasnya.
Selain bantuan, pihaknya bekerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung juga memberikan pelatihan vokasi seperti menjahit, membuat pastry, hingga memasak untuk catering.
Terkait peringatan Hari Kartini, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan mengapresiasi peranan penting perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Tak terkecuali beban berat para perempuan pencari nafkah.
“Di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, kita juga punya Raden Dewi Sartika yang membuat sekolah pertama untuk perempuan, Kautamaan Istri. Itu tidak lepas dari peranan perempuan Kota Bandung untuk berjuang demi pendidikan dan anti-diskriminasi,” ungkapnya.
“Sampai sekarang perjuangan mereka luar biasa, perempuan punya peranan penting. Salah satunya adalah perempuan sebagai kepala keluarga. Ini harus diberi penghargaan karena berat sekali,” lanjutnya.
Seringkali perempuan kepala keluarga harus menitipkan anak-anak mereka ke tempat penitipan anak atau daycare selagi mencari nafkah. Sebagai upaya menjamin keamanan anak-anak Kota Bandung yang ditempatkan di daycare, Farhan menyebut Pemkot Bandung saat ini akan mulai melakukan standarisasi.
“Kita akan buat standarisasi bersama untuk daycare. Kita memang tidak bisa membuat daycare, tapi kita memastikan bahwa standarisasi daycare di semua titik memiliki standar pelayanan yang sama,” ungkapnya.
Hal tersebut, ia mengatakan, akan dilaksanakan dalam pengawasan tim yang dipimpin oleh DP3A. Hingga saat ini, masih ada 50 daycare yang belum mengantongi izin dari Dinas Pendidikan Kota Bandung meskipun beroperasi dengan baik.
“Yang berizin dari disdik ada 13, yang belum berizin 50, itu terutama yang berbasis di wilayah RW. Jangan sampai ada hal-hal yang tidak diinginkan,” jelasnya.