Jalur Cibolang, Cisaat, Kabupaten Sukabumi yang biasanya ramai oleh pejalan kaki menuju masjid, menjadi tempat yang tak akan dilupakan Pi’i Jali Fadli (38).
Di jalur itulah, pada 11 November, pedagang tunanetra asal Kampung Babakan Sawah, Desa Citepus, Kecamatan Pelabuhanratu, itu kehilangan lebih dari sekadar modal dagang. Ia kehilangan tumpuan hidup.
Hari itu, Kang Pai, sapaan akrabnya datang seperti biasa, berjualan untuk menutup kebutuhan keluarganya. Tiga anaknya, termasuk seorang bayi, menunggu nafkah dari hasil menjajakan barang kecil-kecilan. Namun pertemuannya dengan seorang laki-laki tak dikenal di depan masjid mengubah segalanya.
Pria itu datang mengaku sebagai Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (KDM), bicara dengan nada santai dan menawarkan bantuan. Modus liciknya terjadi saat ia membawa Kang Pai ke masjid dan meminjam handphone dengan dalih untuk mendokumentasikan bantuan.
“Niatnya baik, saya percaya,” tutur Pai kepada infoJabar, Kamis (11/12/2025).
Dalam hitungan menit, HP miliknya menghilang, uang modalnya lenyap, dan sosok yang ia percaya sudah tak terlihat lagi di masjid itu. Jalur Cibolang yang biasanya ia lalui sebagai tempat mencari nafkah berubah menjadi titik awal kejatuhannya.
Sebagai warga pada umumnya, Pai langsung melapor ke pihak kepolisian. Namun setelah berminggu-minggu, ia mengaku belum mendapatkan satu pun kabar tindak lanjut.
“Sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya dari kepolisian. Bukan cuma soal uang atau HP. Saya ingin ada keadilan biar kejadian seperti ini tidak terulang ke difabel lain,” ucapnya.
Di tengah peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) yang penuh slogan kesetaraan dan kepedulian, Pai justru merasakan ketimpangan paling nyata, ia berjalan sendiri, tanpa pegangan hukum.
Sejak kejadian di jalur itu, Pai tak mampu kembali berdagang. Ia tak punya modal, tak punya HP untuk berkomunikasi, dan yang paling ia rasakan tak ada pihak yang datang menawarkan bantuan.
“Sampai saat ini saya masih belum bisa berjualan lagi karena belum ada modal dan belum ada yang peduli dengan kejadian ini,” ujarnya.
Sambil mendengar kabar-kabar tentang Hari Disabilitas Internasional (HDI) yang dirayakan secara semarak, entah itu dengan jalan santai ataupun seminar, Pai hanya bisa tersenyum getir. Baginya, HDI bukan panggung seremonial, itu seharusnya menjadi pengingat bahwa difabel seperti dirinya masih berjalan pelan di jalur sunyi.
“Kesetaraan itu tidak terasa kalau kami masih sendirian menghadapi semua ini,” ujarnya.
Uluran tangan para dermawan sangat dibutuhkan Pai dan keluarganya. “Saya ingin punya modal lagi, terutama saya ingin ke depannya punya gerobak sendiri untuk berjualan sehingga saya tidak terlalu jauh untuk berjualannya,” harapnya.
Jalur Cibolang menjadi saksi bagaimana seorang pedagang tunanetra kehilangan harapan, namun di saat yang sama tetap berpegang pada keyakinan. Pai berharap keluhannya bukan hanya terdengar hari ini, bukan hanya momentum HDI, tetapi menjadi langkah nyata untuk membuka jalur yang lebih adil bagi difabel di Sukabumi.
