Kisah Keluarga Sumedang Bertahan Hidup dengan Kalajengking dan Tarantula

Posted on

Maret 2017 menjadi salah satu momen yang sulit dilupakan warga Kabupaten Sumedang. Kala itu publik dikejutkan oleh kisah dua keluarga di Kampung Cibembem RT 1 RW 12, Desa Cimanggung, Kecamatan Cimanggung, yang hidup dalam keterbatasan hingga terpaksa menyantap kalajengking dan tarantula sebagai lauk sehari-hari.

Delapan tahun lalu, infoJabar sempat menyambangi rumah dua pria tersebut: Maman Hidayat (saat itu berumur 41 tahun) dan Yayan Septian (kala itu berusia 36 tahun). Keduanya menjalani profesi yang tak lazim di telinga banyak orang yaitu mencari kalajengking dan tarantula di hutan sekitar Gunung Patambon, Sumedang.

Serangga-serangga itu bukan hanya dikonsumsi, tapi juga diolah menjadi minyak yang dipercaya memiliki khasiat mulai dari menumbuhkan bulu hingga meredakan penyakit seperti asma dan gangguan kulit.

Untuk mendapatkan hewan-hewan itu, Maman dan Yayan harus menempuh perjalanan sejauh 500 meter hingga 5 kilometer dengan berjalan kaki. Tidak ada peralatan khusus, hanya sebilah golok dan keberanian. Mereka menggali lubang-lubang kecil di tanah yang diyakini sebagai sarang kalajengking atau tarantula sambil memastikan tak salah mengorek lubang milik ular.

Ku bedog we sareng ku panangan ngoreknamah, bedogna di tojoskeun kana liang lamun ayaan pasti kaluar. Nya kudu ati-ati bisi liang oray nu dikodokna. (menggunakan golok dan tangan, goloknya dimasukan ke dalam lubang, kalau ada serangganya pasti keluar. Harus hati-hati takutnya malah lubang ular,” kata Maman, Jumat, 24 Maret 2017 lalu.

Profesi ini mereka pelajari sejak kecil. Menurut Yayan, kemampuan tersebut diwariskan langsung oleh sang ayah. “Upami bapakmah tos puluhan taun, abdi sareng pun raka ngiring ngala kalajengking jeumg lancah sareng bapak hampir belasan taun. (Kalau bapak sudah puluhan tahun, jika saya dan kaka ikut sama bapak ikut mencari kalajengkin dan tarantula hampir belasan tahun),” ungkapnya.

Namun, meski pernah menemani sang ayah bertahun-tahun, mereka dulu hanya mengikuti tanpa benar-benar memahami cara membedakan lubang kalajengking, tarantula, ataupun ular. Setelah ayahnya pindah ke Padang karena tingginya permintaan minyak tarantula dan kopi kalajengking, barulah Maman dan Yayan belajar kembali dari awal.

Bapa ka Padang, permintaan minyak lancah sareng kopi kalajengking seuur nu milari. Ari abdi sareng raka teu apal kumaha ngala sareng liangna nu kumah da apalna teh nganter bapa we ka leuweng, nya akhirnya diajar dei ti nol (Bapak tansmigrasi ke Padang, permintaan minyak tarantuka dan kopi kalajengking banyak yang mencari. Karena saya dan kaka saya tidak tahu cara mencarinya jika dulu taunya mengantar bapak saja ke hutan dan akhirnya belajar lagi dari nol),” jelasnya.

Jika berhasil membawa pulang belasan ekor, keduanya langsung mengolah kalajengking dan tarantula dengan cara disangrai bersama kemiri dan minyak keletik menggunakan tungku kayu bakar. Saat pembeli sepi, mereka menjajakan minyak tarantula dan kopi kalajengking ke Bandung Raya, mulai dari Tamansari, Soreang, Cimahi, hingga Tegalega.

Keterbatasan membuat mereka harus pandai bertahan hidup. Ada hari ketika mereka makan, ada hari ketika mereka terpaksa berpuasa. Jika tak ada lauk, kalajengking dan tarantula menjadi pilihan terakhir yang bisa mereka santap bersama keluarga.

Lamun teu gaduh acis nya saaya-aya we, kadang kalajengking jeung tarangtula dijadikeun rencang sangu. Alim abdimah nyusahkeun batur. (Kalau tidak punya uang seadanya saja, kalajengking dan tarantula dijadikan lauk pelengkap nasi. Saya tidak mau kalau harus menyusahkan orang,” kata Maman.

Apal ti bapa abdi ge kalajengking sareng lancah bisa dituang. Enak da rasana sapertos daging hayam. (tahu dari ayah kalau kalajengking fan yarantula bisa di makan. Enak ko rasanya seperti daging ayam,” tambah Maman.

Meski terkesan ekstrem, Yayan menegaskan keluarganya tak pernah mengalami efek samping apa pun. Bahkan, anak-anak mereka biasa bermain dengan serangga itu, meski tak jarang ada yang tergigit hingga demam beberapa hari. Ia justru merasa tubuhnya semakin kuat setelah rutin mengonsumsi kalajengking dan tarantula.

Alhamdulillah teu aya efek nanaon, malihanmah isteri ge nuju hamil sehat-sehat wae. (Alhamdulillah tidak ada efek apapun, malahan sang isteri juga sedang hamil sehat-sehat saja,” ungkapnya.

Keterbatasan ekonomi membuat mereka pasrah, namun tetap bersyukur. Tidak ada keluhan, tidak ada tuntutan. Yang ada hanya tekad menjalani hidup sebaik-baiknya meski tantangan terus berdatangan.

Ketika Kalajengking dan Tarantula Jadi Lauk Pelengkap Nasi

Keterbatasan membuat mereka harus pandai bertahan hidup. Ada hari ketika mereka makan, ada hari ketika mereka terpaksa berpuasa. Jika tak ada lauk, kalajengking dan tarantula menjadi pilihan terakhir yang bisa mereka santap bersama keluarga.

Lamun teu gaduh acis nya saaya-aya we, kadang kalajengking jeung tarangtula dijadikeun rencang sangu. Alim abdimah nyusahkeun batur. (Kalau tidak punya uang seadanya saja, kalajengking dan tarantula dijadikan lauk pelengkap nasi. Saya tidak mau kalau harus menyusahkan orang,” kata Maman.

Apal ti bapa abdi ge kalajengking sareng lancah bisa dituang. Enak da rasana sapertos daging hayam. (tahu dari ayah kalau kalajengking fan yarantula bisa di makan. Enak ko rasanya seperti daging ayam,” tambah Maman.

Meski terkesan ekstrem, Yayan menegaskan keluarganya tak pernah mengalami efek samping apa pun. Bahkan, anak-anak mereka biasa bermain dengan serangga itu, meski tak jarang ada yang tergigit hingga demam beberapa hari. Ia justru merasa tubuhnya semakin kuat setelah rutin mengonsumsi kalajengking dan tarantula.

Alhamdulillah teu aya efek nanaon, malihanmah isteri ge nuju hamil sehat-sehat wae. (Alhamdulillah tidak ada efek apapun, malahan sang isteri juga sedang hamil sehat-sehat saja,” ungkapnya.

Keterbatasan ekonomi membuat mereka pasrah, namun tetap bersyukur. Tidak ada keluhan, tidak ada tuntutan. Yang ada hanya tekad menjalani hidup sebaik-baiknya meski tantangan terus berdatangan.

Ketika Kalajengking dan Tarantula Jadi Lauk Pelengkap Nasi