Ketika Penari Jepang Jatuh Cinta pada Seni Tradisi Indonesia

Posted on

Cinta terhadap tari tradisional Indonesia datang dari seorang perempuan asal Jepang, Noriko Nuraghisi. Seniman asal Negeri Sakura itu, menceritakan perjalanannya menekuni seni tari tradisional Indonesia sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah air pada 2014.

“Saya awalnya datang ke Indonesia tahun 2014, ikut tugas suami. Saat itu anak saya masih SD, perempuan, mau menari dari Bali. Saya lihat-lihat, sebelumnya saya sangat suka tari,” kata Noriko saat diwawancarai infoJabar di Kabupaten Majalengka, belum lama ini.

Sejak awal, Noriko memang sudah menyukai tari. Meski saat kuliah tidak mengambil jurusan seni tari, ia tetap aktif menari selama empat tahun. Ketertarikannya makin kuat ketika melihat bagaimana mudah dan terjangkaunya akses terhadap seni tari tradisional di Indonesia.

“Kalau di Jepang, ingin belajar tarian yang tradisional itu sangat terbatas. Biayanya mahal, kalau ingin meningkatkan tahapannya harus bayar. Tari tradisional itu tidak biasa. Tapi di sini ada banyak tarian yang tradisional yang terjangkau. Saya kaget. Saat anaknya mulai belajar dari Bali, saya menonton, ah tariannya bagus, saya mau,” ujarnya.

Lebih jauh Noriko menceritakan, awalnya ia ikut menemani sang anak belajar tari Bali. Namun, seiring waktu ia mulai mencari gaya tari yang lebih sesuai dengan jiwanya. Pilihannya jatuh pada gaya seni tari dari daerah Jawa setelah menonton video tarian di YouTube.

“Tapi Bali bagi saya tidak cocok. Yang mana yang lebih cocok? Saya cari-cari. Akhirnya saya nonton Youtube, salah satu penari menari dari gaya Solo. Saya menari, oh saya ingin mencoba ini. Tapi kebetulan saya cari-cari guru, adanya gaya Jogja. Jadi saya mulai belajar,” jelasnya.

Selama hampir empat tahun tinggal di Jakarta, Noriko menekuni tari sebagai hobi. Namun, ketika kembali ke Jepang, kecintaannya pada seni tradisional Jawa terus berlanjut. Ia menemukan sebuah sanggar seni di negaranya yang masih melestarikan seni Jawa.

“Selama hampir empat tahun di Jakarta, saya pindah ke Jepang. Kebetulan ada sanggar seni tradisional Jawa. Ada dalang, gamelan, kebetulan ada guru Jogja juga. Jadi saya lanjut belajar, beda dari Indonesia. Di Jepang, penari Jawa itu hanya beberapa sedikit. Jadi saya diberikan kesempatan untuk menari di panggung. Dari situ saya lebih sungguh-sungguh belajar atau berlatih sendiri, sampai sekarang begitu,” ucapnya.

Tak berhenti di situ, Noriko mulai tertarik memperluas pemahaman dan ekspresi tari dengan menjajal gaya Surakarta. Menurutnya, gaya Solo menawarkan ruang ekspresi yang lebih bebas dibandingkan gaya Jogja.

“Setelah beberapa tahun belajar gaya Jogja, saya mau belajar memperluas dunia tari. Saya ketemu salah satu guru saya di Surakarta. Surakarta itu sama-sama Jawa Tengah, tapi ada ruang yang lebih bebas. Kalau Jogja itu tetap ada gerakannya yang tepat. Tapi Surakarta itu tergantung orang merasakan itu, ada ruang yang bebas. Mulai dari itu saya lebih bisa mengekspresikan rasanya,” tuturnya.

Noriko mengakui proses belajar seni tradisional Indonesia bukan hal mudah. Selain soal gerakan, kendala bahasa juga menjadi tantangan tersendiri.

“Iya memang susah. Semua halnya susah. Bahasa pun susah. Untuk belajar sampai puas, tidak ada puasnya. Memang susah semuanya,” ujarnya.

Kini, Noriko juga tak hanya belajar tari tradisional. Ia juga tengah menekuni seni tari kontemporer.