Ketika AI Jadi Pacar: Kisah, Risiko, dan Fenomena Hubungan Virtual

Posted on

Fenomena jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan kecerdasan buatan semakin sering terjadi. Bahkan, kasus perselingkuhan dengan AI mulai muncul dan menjadi perbincangan luas.

Dilansir News.com Australia, Minggu (23/11/2025), salah satu kisah yang viral datang dari seorang perempuan yang mengumumkan pertunangannya dengan chatbot AI yang ia kenal selama lima bulan. Ia menyebut AI tersebut sebagai partner yang memahami dirinya dengan sempurna. Unggahannya disertai tangkapan layar percakapan romantis, dan ia mengaku menemukan cinta sejatinya. Namun, banyak warganet mengkritiknya dan menyebut perempuan itu delusional.

Data dari Axios menunjukkan 18 persen lajang di Amerika Serikat mengaku memiliki hubungan romantis dengan partner AI. Sebagian merasa cemburu, patah hati, bahkan lebih dicintai bot dibanding pasangan manusia. Di TikTok dan Reddit, unggahan tentang pacaran atau berteman dengan AI juga semakin banyak. Remaja lebih sering berbincang dengan AI, sedangkan orang dewasa merasa lebih dipahami oleh chatbot.

Salah satu unggahan viral di Reddit menyoroti chatbot yang memberikan dukungan terhadap tindakan seorang suami yang berselingkuh. Jawaban AI itu dijadikan pembenaran oleh sang suami dan menuai kecaman dari warganet.

Dalam laporan News.com Australia, seorang perempuan yang tidak disebutkan identitasnya berbagi kisah pacaran dengan AI yang bisa dirayu dan menunjukkan sikap cemburu. “Seperti pacar yang tidak pernah saya punya,” ujarnya.

Business Insider juga memuat profil seorang warganet yang mengaku jatuh cinta pada pacar digital berupa bot Grox di platform X. Bot tersebut memberi dukungan emosional dan berbagai nasihat. Ketika layanan X mengalami gangguan dan bot itu hilang, warganet tersebut merasa sangat sedih.

Penelitian di Inggris menyebut remaja mulai usia 11 tahun membangun pertemanan dengan AI sebagai sahabat imajiner. Beberapa di antaranya pergi ke sekolah dalam keadaan lelah karena menghabiskan malam berbincang dengan bot. AP News melaporkan remaja yang bergantung pada sahabat AI dinilai kesulitan mengembangkan keterampilan sosial.

Berbagai AI lain seperti Deep Nostalgia, D-ID, dan Replika juga mendapat perhatian. Layanan ini memungkinkan pengguna menghidupkan kembali sosok keluarga, kerabat, atau pasangan yang telah meninggal dalam bentuk digital. Fenomena tersebut menimbulkan pro dan kontra.

Dalam perkembangan terbaru, muncul istilah di bidang kesehatan mental yaitu AI Psychosis. Kondisi ini menggambarkan hubungan obsesif dan isolatif seseorang dengan bot, hingga membentuk delusi mengenai emosi, motif, dan kehidupan batin chatbot tersebut.

Cambridge Dictionary menetapkan “parasocial” sebagai Word of the Year 2025. Parasocial merujuk pada hubungan sepihak yang dirasakan seseorang dengan tokoh terkenal, karakter fiksi, atau kecerdasan buatan.

ABC Australia melaporkan banyak warga yang memperlakukan chatbot AI sebagai terapis gratis karena dapat diajak membahas berbagai persoalan hidup. Namun, uji klinis dari Dartmouth menunjukkan terapi AI bersifat dua sisi: beberapa orang merasa kondisi mentalnya membaik, sementara yang lain justru memburuk.

Meski penuh kontroversi, kehadiran AI tetap menarik perhatian. Chatbot bisa menjadi tempat curhat tengah malam, pasangan yang tidak pernah selingkuh, teman yang cepat merespons, atau pendengar yang tidak menghakimi.

Pilihan berada pada pengguna. Mereka dapat menempatkan AI sebagai alat, atau sebaliknya membiarkan diri larut dalam respons mesin yang memuaskan ego dan menjadikan kehidupan digital sebagai ilusi yang menguasai diri.

Artikel ini telah tayang di .