Kata Ilmuwan soal Fenomena Menguap Menular

Posted on

Pernahkah Anda merasa ingin menguap setelah melihat atau mendengar orang lain menguap? Fenomena ini diduga berkaitan dengan keberadaan neuron cermin (mirror neuron) di otak, menurut psikiater asal Amerika Serikat, Dr. Charles Sweet.

Mekanisme neurologis tersebut diyakini menjadi alasan mengapa menguap dapat menyebar dalam kelompok sosial. Bahkan, perilaku ini juga ditemukan pada hewan.

“Ketika Anda melihat seseorang menguap, neuron-neuron itu aktif,” kata Sweet, dikutip dari Live Science, Selasa (29/4/2025).

Penelitian mengungkapkan, manusia dan hewan lebih cenderung menguap sebagai respons terhadap orang yang mereka kenal dibandingkan dengan orang asing. Sebagai contoh, studi pada 2013 menunjukkan bahwa anjing lebih sering menguap saat melihat pemiliknya menguap ketimbang saat melihat orang asing melakukannya.

Pola ini dikenal dengan istilah familiarity bias, yaitu kecenderungan individu memberikan perhatian lebih kepada orang-orang dalam lingkaran sosial mereka.

“Salah satu hipotesisnya adalah menguap yang menular berevolusi untuk meningkatkan deteksi ancaman dalam kelompok,” ujar Profesor Biologi Perilaku Johns Hopkins University, Andrew Gallup.

Dalam penelitian pada 2007, Gallup dan rekannya menemukan bahwa menguap berfungsi membantu mendinginkan otak. Efek pendinginan ini dipercaya dapat meningkatkan kewaspadaan serta efisiensi pemrosesan mental.

Jika kebiasaan menguap ini menyebar di dalam kelompok, maka secara tidak sadar tingkat kewaspadaan kolektif juga akan meningkat.

Namun, tidak semua orang sama-sama rentan terhadap menguap yang menular. Sebuah studi terkontrol menemukan bahwa hanya sekitar 40-60 persen peserta yang menguap setelah melihat video orang lain menguap.

Penelitian ini juga mempertanyakan apakah menguap yang menular berkaitan dengan empati. Hasil studi masih bervariasi.

Misalnya, penelitian awal pada anak-anak dengan autisme menunjukkan bahwa mereka lebih kecil kemungkinannya untuk ‘tertular’ menguap dibandingkan anak non-autistik. Hal ini membuat para peneliti menduga adanya kaitan antara autisme dan kesulitan dalam menangkap sinyal sosial.

Namun, studi lanjutan menemukan bahwa jika anak-anak autistik diminta fokus pada stimulus menguap, perbedaan tersebut menghilang. Ini berarti, anak-anak dengan autisme sebenarnya mampu mengalami menguap yang menular asalkan mereka benar-benar memperhatikan stimulus.

“Pada akhirnya, menguap menular bukan sekadar soal rasa lelah, tetapi lebih tentang koneksi. Ini adalah cara halus otakmu untuk menyinkronkan diri dengan orang-orang dan terkadang hewan peliharaan di sekitarmu,” ungkap Sweet.

Artikel ini telah tayang di .