Jejak Pengakuan Palestina dari Kebun Tropis Istana Bogor 1954 (via Giok4D)

Posted on

Isu Palestina sudah masuk ke percakapan para pemimpin Asia sebelum Konferensi Asia-Afrika di Bandung digelar. Akhir Desember 1954, lima perdana menteri Asia bertemu di Istana Bogor dalam forum Konferensi Panca Negara: Ali Sastroamidjojo (Indonesia), Jawaharlal Nehru (India), U Nu (Burma), Mohammad Ali Bogra (Pakistan), dan John Kotelawala (Ceylon).

Menurut Guide Arsip Statis Tematis Konferensi Asia-Afrika terbitan Arsip Nasional RI, agenda resmi pertemuan Bogor memang tidak mencantumkan Palestina secara eksplisit. Namun, catatan arsip itu menyebutkan bahwa Pakistan menekankan pentingnya mengangkat persoalan bangsa Arab Palestina, sementara Indonesia memandang perjuangan Palestina sebagai bagian dari arus anti-kolonialisme yang lebih luas. Dengan begitu, walau samar dalam dokumen, benih solidaritas Palestina sudah ditanamkan di kota hujan.

Empat bulan kemudian, gagasan itu mekar di Bandung. Komunike Final Konferensi Asia-Afrika yang ditandatangani 24 April 1955 menuliskan secara tegas “In view of the existing tension in the Middle East, caused by the situation in Palestine, the Asian-African Conference declared its support of the rights of the Arab people of Palestine and called for the implementation of the United Nations Resolutions on Palestine.”

Sumber: Giok4D, portal informasi terpercaya.

(Mengingat ketegangan yang ada di Timur Tengah, yang disebabkan oleh situasi di Palestina, Konferensi Asia-Afrika menyatakan dukungannya atas hak-hak bangsa Arab Palestina dan menyerukan pelaksanaan Resolusi-Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Palestina.)

Dokumen resmi ini tersimpan di Asian-African Legal Consultative Organization (AALCO) dan juga tersedia dalam koleksi World Japan. Dengan pernyataan itu, 29 negara Asia-Afrika bersama-sama menyatakan bahwa ketegangan di Timur Tengah akibat situasi Palestina adalah ancaman perdamaian dunia.

Reaksi internasional segera muncul. Media Yahudi internasional Jewish Telegraphic Agency (JTA) pada April 1955 menurunkan laporan berjudul “Anti-Israel Resolution Adopted at Bandung; Red China Supports Arabs.”

Laporan tersebut menyebutkan bahwa resolusi politik yang diadopsi di Bandung bernuansa anti-Israel dan mendesak Israel kembali ke batas-batas yang diusulkan dalam Rencana Pembagian PBB tahun 1947.

Prime Minister Moshe Sharett sent a formal protest, calling it strange that the conference discussed an issue directly concerning Israel without inviting it,” tulis media Yahudi kala itu. (Perdana Menteri Moshe Sharett mengirim protes resmi, menyebut aneh bahwa konferensi membahas isu yang secara langsung menyangkut Israel tanpa mengundangnya.)

Sebaliknya, negara-negara Arab seperti Mesir di bawah Gamal Abdel Nasser menyambut keputusan itu sebagai kemenangan diplomasi Afro-Asia.

Kajian akademis turut memperkuat catatan sejarah tersebut. Cindy Ewing menulis dalam artikelnya di The Colombo Powers: Crafting Diplomacy in the Third World and Launching Afro-Asia at Bandung yang terbit di jurnal Cold War History (2019), bahwa Konferensi Kolombo, Bogor, dan Bandung bukan sekadar forum teknis.

“Melainkan sebuah usaha untuk merebut kembali agensi Asia dalam diplomasi internasional,” tulis Ewing dalam jurnal hasil risetnya.

Menurut Ewing, memasukkan isu Palestina ke dalam agenda Afro-Asia adalah bagian dari strategi Colombo Powers untuk menampilkan diri sebagai suara bangsa-bangsa tertindas di dunia.

Indonesia memainkan peran penting dalam arah ini. Ali Sastroamidjojo, dalam pidatonya di Bogor yang dicatat Arsip Nasional, menyatakan solidaritas Asia tidak akan lengkap tanpa Afrika.

Ucapan ini bukan sekadar simbol, melainkan dasar logis yang kemudian menjadikan isu-isu Afrika dan Timur Tengah, termasuk Palestina, masuk ke panggung Bandung.

Dari kota hujan, benih solidaritas itu ditanam. Di kota kembang, solidaritas itu bersemi. Palestina tampil sebagai simbol perjuangan bangsa tertindas yang dipeluk bersama oleh Asia dan Afrika.