Batik merupakan salah satu kain yang cukup khas dan mendunia saat ini. Bahkan Unesco pada 2 Oktober 2009 secara resmi mengakui batik Indonesia sebagai warisan budaya.
Tentunya momentum ini menjadikan Indonesia yang diakui dunia sebagai negara penuh keberagaman dan nilai-nilai budaya. Batik ini juga menjadikan identitas bangsa semakin kuat.
Tidak hanya batik Jawa, kain bermotif ini lahir dari sejumlah daerah di Indonesia. Mulai dari Sabang sampai Merauke memiliki beragam motif batik yang unik.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI mencatat setidaknya ada 5.849 motif batik di Indonesia. Jumlah tersebut hasil penelitian oleh Bandung Fe Institute dan Sobat Budaya pada tahun 2015.
Setidaknya, dari ribuan batik yang ada, Indonesia memiliki 10 motif batik khas paling populer di Indonesia diantaranya, batik mega mendung Cirebon, batik Parang Yogyakarta, Batik Kawung Jawa Tengah, Batik Tujuh Pekalongan, Batik Sogan Solo, batik Gentongan Madura, Batik Keraton Yogya, Batik Simbut Banten, Batik Pring Sedapur Magetan, Batik Geblek Renteng Kulon Progo.
Selain itu, industri batik tidak hanya laku penjualan dalam negeri. Namun, sejumlah negara di Asia hingga Eropa membeli batik dari Indonesia.
Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip dari Kementerian UMKM Republik Indonesia, pada triwulan I tahun 2025 ekspor batik Indonesia melonjak 76,2 persen. Angkanya diperkirakan mencapai US$ 7,63 juta dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 4,33 juta.
Adapun sejumlah negara yang menjadi tujuan ekspor batik diantaranya, Amerika Serikat dan Jerman. Tak hanya pasar Eropa dan Amerika, batik juga diminati pasar Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, hingga Vietnam.
Jika kembali meninjau data tahun 2022, Amerika Serikat dinilai menjadi negara pecinta batik Indonesia. Nilai ekspor batik Indonesia ke negara Amerika Serikat mencapai US$ 18,79 juta, atau naik 2,88 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dari sisi volume, ekspor batik Indonesia ke Amerika Serikat mencapai 638,5 ribu kilogram pada tahun 2022. Negara berikutnya yang menggemari batik Indonesia adalah Malaysia dengan nilai ekspor sebanyak US$ 673,24 ribu dengan volume 36,12 ribu kilogram.
Selain itu, motif batik asal Jawa Barat juga tak kalah saing dengan batik tua yang sudah melalang buana sejak lama. Salah satunya batik asal Kabupaten Pangandaran.
Meski Kabupaten Pangandaran daerah otonomi baru atau DOB, karya batik tulis asal pesisir selatan ini telah sampai ke pasar ekspor hingga menjadi motif khas biota laut pertama di Indonesia.
Dari dapur kecil bau asap dan hasil karya ibu rumah tangga (IRT) asal Desa Sidomulyo, Kecamatan Pangandaran, Supriati (34) telah menelurkan ratusan motif batik bernuansa biota laut. Karya tangan pemilik galeri Batik Mekar Sejahtera ini pantas dinobatkan sebagai pemasok ekspor kain batik ke kancah dunia.
Batik marlin milik Supriati sudah dibeli secara rutin oleh konsumen asal Abu Dhabi, Arab Saudi, Swiss dan Belanda. Kain batik bermotif marlin ini dibuat secara rumahan dengan alat tradisional dan memanfaatkan tetangga sebagai tenaga kerjanya. Karya ini dimulai Supriati sejak tahun 2019.
Semula, Supriati hanya seorang buruh canting batik di salah satu galeri batik swasta di Pangandaran. Hanya bertahan selama 2017 hingga 2019, tempatnya bekerja memilih gulung tikar.
Otak bisnis Supriati kemudian meronta menginginkan dan mimpi punya galeri batik sendiri. Berkat keuletan dan belajar secara otodidak pada Agustus 2019, ia merintis usaha pembuatan kain batik dengan metode cap dan tulis.
“Kebetulan dulu tempat saya bekerja di salah satu batik lokal tidak mau produksi lagi dan memilih gulung tikar,” kata Supriati kepada infoJabar saat diwawancarai pada Rabu (29/10/2025) yang lalu.
Kemudian, Supriati berinisiatif untuk meneruskan usaha batik tersebut. Meskipun bukan bagian dari keluarga, dirinya mencoba peruntungan dari merintis kain batik tersebut. “Padahal saya bukan bagian dari keluarga, owner sebelumnya tempat bekerja mengizinkan saya untuk membuka usaha batik,” ucapnya sembari mengingat momen itu disampaikan eks bos batik.
Untuk memulainya tentu tidaklah mudah bagi Supriati, karena sebelumnya hanya sebagai pegawai bagian nyanting, dirinya kemudian belajar secara otodidak hingga mengikuti kelas batik ke Tasik, Pekalongan, Solo dan Jogja.
“Alhamdulillah saat izin buka usaha pemilik batik tempat saya bekerja dulu memberikan izin dan suami juga meridhoi ya langsung mulai. Dengan kita sekolah lagi ke Tasik, Jogja, Pekalongan, Solo. Sejak itu jadi berani buka sendiri alhamdulillah bisa mengajari tetangga juga pada mau dan bisa. Sudah banyak pesanan juga, memberdayakan masyarakat setempat menjadi produktif dan tidak menganggur melalui usaha ini,” ujarnya.
Ia mengaku senang dapat mempekerjakan tetangga dari buang hasil kerja kerasnya dan memberikan nilai manfaat secara ekonomi.
“Emang saya itu niatnya ingin memberdayakan masyarakat khusus untuk warga setempat. Sekarang karyawan aktif 7 orang, ibu-ibu tetangga setempat kebanyakan. Apabila banyak pemesanan bisa memanggil sampai 20 orang lagi,” ungkapnya.
Menurut Supriati, jumlah motif miliknya telah ada ratusan yang bernuansa biota laut dan pesona alam Pangandaran.
“Kalau motif sudah banyak banget gak dihitung beragam saja karena kan sudah 6 tahun berdiri. Belum sempat menghitung ragam motifnya. Sudah semakin banyak mungkin ada ratusan, paling diminati yaitu motif Ikan Marlin,” ucapnya.
Menurutnya membuat motif baru dengan nuansa yang berbeda tidaklah mudah, harus variatif. Untuk memunculkan ide, dirinya harus mencari inspirasi dari melihat panorama dan mengingat kembali biota laut yang ada di Pangandaran.
“Inspirasi nyari motif yang penting tidak keluar dari khas Pangandaran berkaitan dengan biota laut dan alam Pangandaran. Yang lainnya dipadukan dengan ide ide hasil pelatihan,” katanya.
Ia juga mengaku menggunakan metode amati tiru modifikasi. “Karena kita harus pinter memodifikasi,” ucapnya.
Sementara itu, untuk harga kain batiknya cukup variatif mulai dari Rp 150-350 ribu untuk batik cap. Batik tulis karena pembuatannya cukup rumit dibandrol dengan harga Rp 2,5 juta untuk kain terbaik.
Supriati menyebutkan untuk penjualan batik miliknya masih terbilang ramai untuk pasar lokal dan wisatawan yang masuk ke objek wisata Pantai Pangandaran.
“Untuk penjualan banyaknya masih di Pangandaran, untuk keluar kota masih terhitung, ekspor ke luar negeri juga ada,” ucapnya.
Ia mengatakan kebanyakan ambil langsung ke galeri karena rombongan biasanya sekalian workshop. “Kami juga menyediakan workshop tutorial pembuatan kain batik motif tulis,” katanya.
Untuk pertamakalinya, batik milik Supriati ekspor keluar negeri itu setelah satu tahun berkarya tepatnya pada tahun 2020.
“Ekspor kirim pertama itu tahun 2020 bekerjasama dengan pengusaha batik Cap di Cilacap. Pengirimannya sebulan 80 lembar ke Abu Dhabi, Arab Saudi,” ucapnya. Waktu itu, menurut dia, harga per lembarnya perkiraan sebesar Rp 650 ribuan.
Kemudian, setahun setelah itu Supriati mendapatkan orderan lagi dari wisatawan asal Belanda dan Swiss. “Cuman itu mah dari tamu yang ke sini dari Belanda dan Swiss. Kalo bule Swiss dia tahu kita dari Google mau engagement bener-bener dipakai tunangan oleh mereka,” katanya.
Sementara itu, untuk meningkatkan penjualan dirinya juga menyimpan galeri batik secara online melalui media sosial dan marketplace.
Ia mengatakan harga yang diberikan untuk para penjual batik tidak ada harga satuan, kadangkala nilai seni itu bisa dibayar lebih oleh penikmatnya.
“Perbedaan harga penjualan lokal dan mancanegara tidak ada bedanya. Batik itu punya patokan harga, cuman untuk harga itu kembali lagi ke siapa yang datang. Orang ngerti seni dan tahu karya dijual dengan harga mahal malah ditawar lebih mahal lagi. Pernah saya menawarkannya Rp 450 ribu kepada wisatawan karena ngerti seni dia malah nawar mahal Rp 1 juta,” ungkapnya.
Untuk memulai bisnis pertamakalinya, Supriati tak pernah terbayangkan saat ini mempunyai ruang galeri yang cukup besar setelah mencoba dari dapur sempit.
“Waktu itu tahun 2019 setelah merintis alhamdulillah dapat bantuan keuangan dari BRI sebagai binaan UMKM senilai Rp 45 juta,” ucapnya.
Uang itu, kata dia, digunakan untuk membangun galeri depan rumah yang masih menempel dengan tempat tinggal. “Tapi alhamdulillah perlengkapan dan semua yang berkaitan dengan batik bisa terpenuhi berkat bantuan modal bisnis,” katanya.
Pihaknya mengaku sangat terbantu untuk berkembang dan majunya usaha saat ini melalui modal awal tersebut. “Kalo sekarang alhamdulillah sudah makin banyak dikenal orang,” ujarnya.
Ia mengingat betul saat awal-awal memanfaatkan terpal biru yang kadangkala kalo hujan turun merasa repot. “Repot banget dulu kalau hujan,” katanya.
Di Awal-awal Supriati mengaku sulit menemukan pasar karena galerinya tinggal di dalam kampung. “Tapi waktu itu berusaha mengenalkan ke pemandu wisata, melalui pameran dan alhamdulillah meskipun di dalam banyak yang kejar,” ungkapnya.
Proses pembuatan kain batik tulis maupun cap tidak bisa dibuat dalam waktu yang cukup singkat. Tetapi, membutuhkan beberapa tahapan dan hari pembuatannya.
“Kalau pembuatannya pertama dari awal mulai kain putih bersih, kain putih di mordan. Proses ini merupakan perendaman menggunakan TRO fungsinya untuk menghilangkan kanji di kain,” kata Supriati.
Setelah itu, kain dicuci bersih dan dijemur, disetrika lalu membuat pola memakai pensil untuk desain awal. “Kemudian lanjut proses pencantingan, sudah selesai ke proses pewarnaan, dikunci dan disimpan 8 jam,” ucapnya.
Waktu penguncian itu, menurut dia, harus pas tidak boleh lebih maupun kurang. Selesai proses tersebut, dilanjutkan dengan proses pelorodan untuk menghilangkan malam dalam kain.
“Sudah itu tinggal dibilas cuci bersih 63 kali bilas harus pas,” katanya.
Ia mengatakan untuk kain batik motif metode tulis memakan waktu selama kurang lebih dua minggu. Sementara, motif cap hanya 1 minggu.
Supriati mengaku enggan mengungkapkan omzet per bulan karena tidak menentu dan fluktuatif nilainya. “Kalo saya sebut besar nanti dianggapnya mengklaim. Hanya saja saya sampaikan per tahun ya, kalo per tahun pada 2024 omzet kami mencapai Rp 98 juta,” ucapnya.
Hasil itu didapatkan dari penjualan batik per bulannya dari ratusan picis pesanan. “Ada 100 lembar lebih setiap bulannya ke jual dari galeri ini,” ungkapnya.
Menurutnya, pembeli paling banyak bersumber dari oleh-oleh, instansi dan wisatawan yang membeli secara berulang. “Alhamdulillah itu juga, sudah memenuhi kebutuhan keluarga dan sehari-hari terutama senang bisa berbagi sesama tetangga,” katanya.
Yanti (57) salah satu pegawai batik milik Supriati mengaku senang dapat pekerjaan dan terberdayakan. “Meskipun sudah tua tetap produktif. Sehari bisa dapat Rp 50 ribu dari kuli ikut mewarnai kain batik,” ucapnya.
Pegawai lainnya, Marsina (62) sudah sejak dari awal bekerja dengan Supriati dan bersyukur bisa membantu perekonomian keluarga walaupun hanya serabutan seperti ini. “Alhamdulillah terbantu sekali buat saya mah kerja disini,” kata dia.
