‘Fosil’ di Sukabumi yang Bikin Geger Saat Era Kolonial

Posted on

Awal 1939, sebuah kabar dari Sukabumi sempat mengundang perhatian kalangan Eropa di Hindia Belanda. Seorang pengawas pabrik meyakini telah menemukan tulang makhluk purba di tanah basah Sukabumi.

Ia membayangkan temuan itu akan menjadi penemuan besar, sebanding dengan manusia kera di Trinil, Jawa Timur. Namun setelah penggalian panjang hingga tengah malam, temuan yang digadang-gadang sebagai fosil prasejarah itu ternyata hanyalah tulang seekor sapi.

Kisah ini bukan rumor lokal belaka, melainkan benar-benar dimuat dalam harian Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, edisi 7 Januari 1939, di bawah judul pembuka yang berbunyi ‘Java is rijk aan oudheden’ ‘Pulau Jawa kaya akan peninggalan kuno’

Dilihat dan diterjemahkan infoJabar, laporan media itu dibuka dengan nada ilmiah. Jawa disebut kaya peninggalan kuno dari reruntuhan candi hingga sisa makhluk prasejarah seperti Pithecanthropus erectus yang ditemukan di Trinil, Jawa Timur, pada 1891 oleh Eugene Dubois.

Pada masa itu, semangat zaman kolonial sedang terobsesi pada arkeologi di tanah Jawa. Setiap tulang yang muncul dari tanah dianggap berpotensi menyingkap misteri evolusi manusia. Para peneliti, pejabat, hingga pengusaha Eropa ikut larut dalam euforia itu percaya bahwa bumi Nusantara menyimpan kunci asal-usul manusia.

Penulis koran itu menegaskan bahwa selama ini penemuan penting selalu terjadi di Jawa Tengah dan Timur, belum pernah di Jawa Barat. Tapi keadaan itu, katanya, kini berubah.

“Dan yang lebih menarik, Soekaboemi mendapat kehormatan pertama,” tulis koran tersebut.

Sumber kisahnya adalah sebuah pabrik peti mati bernama Kibodas, yang berada di Sukabumi dan dikelola dua orang Eropa, De Jong dan Ditmar Jansse.

Ketika pabrik itu memperluas bangunan, mereka harus menggali di lahan berawa. Karena dianggap berbahaya, pengawasan dilakukan langsung oleh Ditmar.

Dalam salah satu galian, seorang pekerja pribumi menemukan benda keras menyerupai tulang membatu. Ia menunjukkannya kepada atasannya dengan wajah panik. Ditmar segera turun ke lubang, memeriksa sendiri, dan sontak bersemangat.

Di benaknya muncul bayangan besar, jika benar fosil purba, namanya akan dikenang selamanya. Ia bahkan sudah memikirkan nama ilmiah bagi penemuannya Pithecanthropus Ditmarianus.

Ditmar mengambil cangkul dan menggali dengan tangannya sendiri. Ia tak ingin pekerja lain merusak benda yang mungkin berharga itu.

Waktu bergulir. Siang menjadi sore, lalu malam. Lampu stormking didatangkan agar ia bisa terus bekerja. Air tanah makin tinggi, tapi Ditmar tetap menggali hingga sepinggang air.

Koran Belanda itu menulis bagaimana ia “tak kenal lelah” hingga tengah malam. Akhirnya, benda yang dicari berhasil diangkat dengan katrol dan tali. Semua menahan napas, berharap menyaksikan sejarah baru.

Namun begitu tulang itu dibersihkan, harapan langsung runtuh. Tulang yang digali dengan susah payah itu ternyata bukan fosil purba, melainkan kerangka seekor sapi.

Belakangan diketahui, di lokasi itu dulu pernah berdiri sebuah peternakan sapi perah. Diduga sapi tersebut dikubur di sana setelah mati mungkin karena penyakit mulut dan kuku.

Meski hasilnya mengecewakan, koran Het Nieuws van den Dag menutup laporannya dengan nada sarkastik khas Belanda kolonial. Mereka menulis, mungkin saja tulang itu tetap bisa disimpan di museum, dengan label baru, Sappianthropus Ditmarianus.

Dengan nada menggoda, narasi redaksi media tersebut menulis bahwa “para ilmuwan mungkin akan berdebat panjang tentang penemuan penting dari Sukabumi ini dan siapa tahu, pada akhirnya justru melahirkan penemuan baru.”