Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Upaya mendorong kemajuan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terus dilakukan Dinas Pertanian Kabupaten Bandung melalui program Pasar Tani BEDAS. Program ini menjadi ruang temu antara petani, pelaku UMKM, dan konsumen, di mana produk-produk pertanian dipasarkan secara langsung tanpa perantara.
Bazar tersebut digelar rutin setiap hari Selasa, mulai pukul 07.00 hingga 13.00 WIB. Di antara para pelaku UMKM yang rutin mengisi lapak Pasar Tani BEDAS, terdapat Agus, seorang petani sekaligus pelaku usaha yang datang bersama rekan-rekannya. Mereka menawarkan berbagai hasil pertanian, mulai dari kopi, madu, hingga aneka sayuran segar yang langsung didatangkan dari kebun.
Sayuran yang dijual Agus berasal dari kelompok tani yang mengelola lahan pertanian di wilayah Ciwidey. Untuk menjaga kualitas, proses panen hingga pengemasan dilakukan dalam waktu singkat.
“Sayuran itu dari kelompok petani di Ciwidey. Prosesnya satu hari langsung dipanen dan dikemas. Soalnya kalau petani kan nggak selalu barengan panennya, ada yang sudah panen, ada yang belum. Jadi muter saja karena lahan pertaniannya banyak,” ujar Agus saat berbincang dengan infoJabar, Selasa (23/12/2025).
Tak hanya dijual di Pasar Tani BEDAS, sayuran tersebut juga dipasarkan ke sejumlah wilayah lain seperti Pameungpeuk dan Arjasari. Sementara untuk kopi, Agus menjelaskan prosesnya berbeda karena mengikuti siklus panen yang lebih panjang.
“Kalau kopi itu beda. Kita stoknya enam bulan sekali, karena sekarang belum panen. Biasanya panen itu dari bulan Maret sampai Agustus,” jelasnya.
Agus sendiri merupakan ketua kelompok tani kopi yang juga berlokasi di Ciwidey. Di kawasan tersebut, kebun kopi berdampingan dengan lahan sayuran serta kopi hutan, sehingga aktivitas pertanian berjalan berdampingan dalam satu ekosistem.
Bagi Agus, kehadiran Pasar Tani BEDAS sangat membantu petani dan pelaku UMKM kecil seperti dirinya. Ia menilai konsep penjualan langsung ini memberi ruang yang adil bagi petani untuk mendapatkan nilai jual yang lebih baik.
“Respon saya sangat baik. Ini benar-benar mendukung UMKM, karena kita bisa menggelar produk dan menjual langsung ke konsumen. Dari petani langsung ke pembeli, tanpa perantara,” katanya.
Untuk menjaga mutu produk, Agus menerapkan standar ketat sejak tahap pemilihan hasil panen. Sayuran disortir agar hanya yang berkualitas baik yang dijual. Produk kemudian dikemas rapi menggunakan plastik pembungkus agar tetap segar dan menarik saat sampai ke tangan konsumen.
Namun, tantangan tetap menjadi bagian dari keseharian Agus. Salah satunya ketika jumlah pembeli menurun dan stok sayuran tidak habis terjual.
“Tantangan terbesarnya kadang pembeli sepi. Kalau sayuran nggak habis, yang mulai busuk kita sortir lagi, kita repacking,” tuturnya.
Selain itu, faktor cuaca juga menjadi tantangan besar, terutama saat musim hujan.
“Kalau musim hujan itu berat. Kopi susah kering karena kurang penjemuran. Sayuran juga sama, kalau hujan banyak yang busuk,” katanya.
Melalui Pasar Tani BEDAS, Agus berharap dukungan dari aparatur sipil negara (ASN) dapat semakin nyata dengan membeli produk petani lokal.
“Harapan saya, ASN bisa lebih banyak beli produk dari kelompok tani. Karena yang bisa memajukan petani itu pembeli langsung. Ini langsung dari petani ke konsumen, nggak lewat ke mana-mana,” ucapnya.
Di lapak Pasar Tani BEDAS, Agus menawarkan beragam jenis kopi, mulai dari kopi hitam, kopi natural, hingga kopi luwak. Harga yang ditawarkan pun relatif terjangkau. Sayuran dijual serba Rp5.000, sementara kopi dibanderol mulai Rp10.000 hingga Rp50.000, tergantung jenis dan rasa.
Tak hanya produk pertanian, Pasar Tani BEDAS juga diramaikan oleh UMKM kuliner tradisional. Salah satunya Abah Ega, penjual bandros Bandung dan aneka makanan jadul khas Sunda seperti kukusan.
“Kalau hari Selasa saya jualan di bazar UMKM Dinas Pertanian. Hari lain juga keliling, di Diskop UMKM, hari Jumat di depan Disperdagin, hari Minggu di depan Masjid Al-Fathu. Jadi seminggu bisa empat kali jualan di area Pemda, kalau warung tetapnya ada di Katapang,” ujar Abah Ega.
Menurut Abah Ega, tantangan utama pelaku UMKM kuliner tradisional adalah bersaing dengan makanan kekinian yang lebih digemari generasi muda.
“Anak-anak milenial kan lebih suka makanan modern. Tantangannya di situ. Tapi kita coba kenalkan lagi makanan khas Jawa Barat atau Sunda, dengan konsep makanan sehat. Alhamdulillah, usia 40 tahun ke atas sekarang sudah mulai melirik lagi,” katanya.
Bandros buatan Abah Ega memiliki ciri khas dari rasa, ukuran, hingga kemasan. Satu porsi berisi delapan potong bandros berukuran besar dijual seharga Rp25.000, sementara kukusan dan minuman dibanderol mulai Rp5.000.
Ia berharap bazar UMKM yang difasilitasi pemerintah daerah dapat terus berjalan dan berkembang.
“Bazar di area Pemda ini sangat membantu, apalagi waktu awal Covid kemarin. Itu benar-benar bikin kita bisa survive. Harapannya ke depan lebih baik lagi, lebih maju, dan omset kita juga semakin meningkat,” ujarnya.
Abah Ega pun mengajak masyarakat untuk memanfaatkan keberadaan Pasar Tani BEDAS.
“Pesan saya ke masyarakat, karena bazar ini sudah ada dan harganya terjangkau, ayo dimanfaatkan. Sekarang bukan cuma ASN saja, masyarakat luar juga sudah mulai tahu, apalagi yang biasa olahraga di Lapangan Upakarti. Ditambah promosi di media sosial, alhamdulillah peningkatannya signifikan,” pungkasnya.
Melalui Pasar Tani BEDAS, Pemerintah Kabupaten Bandung tidak hanya menghadirkan ruang transaksi ekonomi, tetapi juga memperkuat ekosistem UMKM, mendekatkan petani dengan konsumen, serta menjaga keberlanjutan pertanian dan pangan lokal.
