Cerita Keluarga yang Tetap Bahagia di Luar Venue WJF 2025

Posted on

Sore itu, suasana di Kiara Artha Park dipenuhi tawa, musik, dan sorak penonton. Dari kejauhan, dentuman bass dan suara penyanyi terdengar samar namun tetap menggugah semangat. Di balik pagar venue utama West Java Festival (WJF) 2025, ratusan warga berkumpul di area mini stage, bukan karena tak ingin masuk, tapi karena tak bisa.

Di antara mereka ada Dindin (32), warga Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Ia datang bersama istrinya dan dua anak kecilnya. Wajahnya tampak sumringah, meski posisinya berada di luar pagar panggung utama.

“Alhamdulillah selamat bisa nonton juga meski hanya di luar. Kalau saudara pada masuk, tapi tetap terhibur meski di luar juga,” ujar Dindin sambil menggendong anak bungsunya.

Sejak awal, Dindin sudah tahu bahwa panitia membatasi penonton di bawah usia 15 tahun untuk masuk ke dalam venue utama demi alasan keamanan. Ia pun tak mempermasalahkan hal itu.

“Meski gak masuk, tetap bisa nonton dari layar ini. Tadi udah nonton Doel Sumbang, sekarang Suara Jiwa,” ujarnya sambil menunjuk ke layar besar di mini stage.

“Alhamdulillah berkat layar ini, saya juga bisa nonton King Nasar,” tambahnya dengan tawa kecil.

Mini stage itu memang menjadi penyelamat bagi keluarga yang datang bersama anak-anak. Sebuah layar lebar menayangkan pertunjukan dari panggung utama secara langsung. Anak-anak duduk rapi di lantai, sebagian menari kecil mengikuti irama lagu, sementara para orang tua duduk di pinggir panggung sambil menikmati jajanan yang dijajakan pedagang.

Suasana di area itu hangat dan kekeluargaan. Tak ada teriakan histeris seperti di dalam venue, tapi tetap penuh semangat dan rasa bahagia.

Gianita (27), warga Bandung, juga mengalami hal serupa. Ia datang bersama anaknya yang berusia empat tahun.

“Ya kan bawa anak, jadi gak bisa masuk. Tapi gak apa-apa, di luar juga bisa nonton. Alhamdulillah panitia sediakan layar lebar ini,” ujarnya dengan wajah lega.

Ia mengaku datang khusus untuk menikmati penampilan beberapa musisi legendaris Jawa Barat.

“Doel Sumbang, Cangcuter sama King Nasar, ditunggu-tunggu banget pokoknya,” katanya antusias.

Meski berada di luar pagar, atmosfer festival tetap terasa. Cahaya lampu panggung yang menari di langit malam, tepuk tangan penonton dari kejauhan, dan suara khas musisi Sunda menjadi harmoni yang mempersatukan semua orang, di dalam maupun di luar venue.

Bagi Dindin dan Gianita, layar lebar itu bukan sekadar fasilitas tambahan, tapi jembatan kebahagiaan. Karena di tengah keterbatasan, mereka tetap bisa menikmati momen berharga bersama keluarga.